Dandelion: Untuk Bidadari Bumi

Semoga engkau tidak sadar jika akhir-akhir ini aku sering menatapmu lekat-lekat. Ya, ada banyak gurat-gurat lelah dan gelisah. Aku tahu, pilihan-pilihan itu membuat kita hampir sesak napas, bukan?

“Ini tanda seru, titik, atau tanya?”

“Bukan. Ini hanya sebuah koma”, jawabmu.

Lalu engkau memberiku sebatang krayon merah dan penghapus – menuntunku untuk membubuhkan tanda kurung di dua atau tiga kata yang saat ini sudah tidak lagi signifikan, dan menghapus tanda tanya yang menggantung di setiap akhir.

“Agar kau tidak sakit terlalu lama”, pesanmu “Dan tak usahlah kau bertanya lagi. Bukankah ini semua retorika?”

Ini masih tanda koma, tidak untuk berhenti berlama-lama. Hanya untuk ganti sepatu dan melangkah lagi. Lihatlah, ujungnya sudah dekat. Anggap saja ini jalan menuju surga yang dipilih Tuhan. Memang tak mudah. Jangan berbelok. Jika di sepanjang langkah kita temui banyak duri, ingatlah, kita selalu punya obatnya. Bukankah kita memiliki kebahagiaan? Juga prinsip, bahwa inilah yang benar.

Seandainya engkau tahu bahwa hanya engkau satu-satunya alasanku masih dapat bertahan. Aku bisa saja lari, melompati spasi-spasi lalu menghunuskan tanda titik bahkan sebelum akhir.

Jika ini semua membuat kita sedih, tak apa. Simpan saja semua rona biru dalam toples kaca lalu letakkan di lemari yang paling tinggi yang kita punya agar tak terjangkau. Atau buang saja, pecahkan.


Biarkan hati kita ringan, seriang dandelion ini…

Comments

Popular Posts