Benalu

Pagi itu, sehabis hujan.

Langit masih kelabu tetapi aku sudah menggendong tas ranselku dan berlari keluar rumah sambil menunggu Ibu. Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah dasar. Para burung gereja bersahut-sahutan seakan mengucap selamat jalan. Barisan embun berserakan di dedaunan dan terseok-seok di batang pohon mangga yang bergelombang lalu hinggap di jari manisku yang mungil dan kemerahan. Saat itu, pekarangan menjadi tempat yang sangat menyenangkan di kala tak punya teman.

“Ibu, apa itu?”

Aku berjinjit memperhatikan sebuah mahkluk yang menempel di pohon mangga kami yang perkasa.

“Itu namanya benalu”, jawab Ibu sambil merapikan seragamku.

“Apa yang dia lakukan disana?”

“Dia hidup dengan menggerogoti sari pati sang pohon, jika dibiarkan maka sang pohon bisa mati perlahan-lahan”

Mataku berkaca-kaca marah menatap makhluk itu, tak terbayang pada apa yang bisa dia lakukan terhadap pohon kesayanganku. “Sore ini kita basmi ya Ibu”

Ibu mengangguk. “Saat kau besar dan menjadi pemimpin janganlah kau seperti benalu itu yang merebut hak orang lain untuk kenikmatan dirimu sendiri. Lihat, tidak ada yang menyukai benalu itu bukan? Lihat, bagaimana nasib pohon mangga itu yang menjadi korban? Bisa kau rasakan kesedihannya?”

Sepanjang perjalanan ke sekolah aku terus memandang ke belakang. Nasihat Ibu membekas dalam ingatan jangka panjangku yang terdalam. Ini pertama kalinya aku belajar tentang kebencian. Bedanya, ini kebencian yang diperbolehkan.

***

Senja itu, aku tak tergesa-gesa pulang mengejar kereta bersama manusia-manusia berkemeja lainnya seperti biasa.

“Bagi-bagi uang pelicin. Kejutan akhir pekan, Nak! Simpan ya ini untukmu”

Tawa menyeruak di ruangan. Mulut-mulut serakah dan lebar bersahut-sahutan penuh kebahagiaan. Ada bau anyir. Ada sengatan yang menyerang di sudut kepala yang menjadi pertanda bahwa sesuatu tidak baik-baik saja.

“Tidak apa-apa, ya, tidak apa-apa”

Sebut saja itu pengabaian untuk meninabobokan hati kecil yang meronta kesakitan.

“Tidak apa-apa, ya, tidak apa-apa”

Aku menghitung lembar demi lembar seratus ribuan yang terselip dalam amplop di tasku. Tanganku bergetar.
Ini adalah jumlah terbesar yang pernah kugenggam selama aku bekerja dan magang di kantor pemerintah ini. Statusku yang belum resmi menyandang CPNS membuatku masih tak punya penghasilan layak. Dan, kesempatan sore ini seperti memaksaku kembali hidup. Aku punya harapan. Aku dapat mempersembahkan ini pada Ibu dan Ayah yang sudah sakit-sakitan.

“Sudahlah, kan aku tidak meminta. Bukankah ini rezeki?”

Seperti ada bulir bening yang merayap di pelupuk mata. Aku tahu sesuatu tidak baik-baik saja.

***

“Sudah mulai gajian kau, Nak? Senang sekali kau bisa membelikan ayahmu vitamin, susu, dan madu. Lihat wajahnya, bersinar setelah meneguk madu darimu” ujar Ibu. Kami berbincang di ruang makan. Aku tertunduk lesu.

“Belum gajian, Bu. Itu… honor”. Aku tak sanggup menelan nasi di hadapanku. Dusta ini pahit sekali.

“Simpan saja sisa uangnya untukmu, Nak. Tak usah kau kasih Ibu”

Ibu tersenyum sangat bangga. Ada nada haru di balik suaranya.

“Terima kasih, Nak. Semoga ayah segera sehat. Ayah percaya bahwa rezeki yang berkah akan membawa keberkahan kepada pemiliknya. Ayah dulu hanya wiraswasta kecil, tetapi keberkahan membuat ayah mampu menyekolahkan kau hingga lulus. Jangan lupa, jika kau sudah jadi orang berhasil, ingatlah bahwa harga diri adalah sesuatu yang tidak boleh kau jual. Itu yang ayah tanamkan dari kecil untukmu”

Aku tidak berani menatap wajah ayah. Getar di sela hembusan napasnya seakan menggores nadiku sedikit demi sedikit. Ya Tuhan, apa yang aku lakukan? Sesendok madu dan vitamin itu masuk ke dalam tubuh ayahku… bergerak seperti racun. Aku menghadiahkan ayahku obat dengan noda-noda ketidakberkahan di baliknya. Sementara ayah selalu menafkahiku dengan keringatnya di jalan yang halal. Ya Tuhan, kenapa baru tersadar sekarang? Kenapa aku tidak punya keberanian untuk berbuat benar sesuai dengan prinsipku selama ini?

“Iyaa, lihat saja koruptor-koruptor di televisi itu atau yang ada di sekeliling kita. Apa yang mereka tanam, itulah yang mereka tuai. Hak yang mereka ambil, akan diambil kembali dengan cara-cara yang tidak menyenangkan. Baik ketahuan ataupun tidak, namun… ada duka berkepanjangan orang lain yang telah mereka telan, dan itu tak akan hilang, melekat dalam daging hingga anak dan cucu. Sungguh ketamakan itu membuat malu. Jangan menjadi benalu”

Benalu. Aku masih ingat benalu yang teronggok di pagi itu. Apa aku telah tumbuh menjadi benalu yang sangat kubenci saat itu? Ibu benar, aku tak perlu berbuat serendah ini untuk membahagiakan mereka dan menunjukkan hasil kerjaku. Ya Tuhan, aku malu.

Aku langsung memeluk Ibu, menangis tersedu-sedu.

“Kamu kenapa, Nak? Apa Ibu salah bicara?”

“Ibu, tolong pukul kedua tanganku dengan sangat keras. Sangat keras!”

Aku merosot di kaki ibu lalu merenggangkan jariku ke hadapannya.

“Ibu, aku mohon. Lakukan sebagaimana yang biasa Ibu lakukan di waktu aku kecil dulu, saat aku diajarkan untuk tidak mencuri atau mengambil hak orang lain, Ibu”

“Mencuri? Maksudmu?”

Ayah batuk dengan hentakan dada yang mengiris telinga seperti mengetahui sesuatu. Ibu masih memelukku erat tanpa bicara sepatah kata pun.


***

Diikutsertakan dalam Lomba Semangat Anti Korupsi 7G DIV Khusus STAN 2014.

Comments

Popular Posts