#9 Mei untuk Maret: Apa yang Aku Lakukan Ketika Merindukanmu?
Dear Maret,
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku mengirimkanmu puisi di siang hari untuk kau dengar sebelum tidur. Simpanlah, itu puisi-puisi kesukaanku. Jika kau pikir itu mengganggu, pasrah pada sinyal yang tak tentu justru lebih membuatku terganggu. Akhir-akhir ini aku harus beradu cepat dengan waktu yang tak ramah dan mengambil alih perhatianmu hingga aku menjadi mudah marah. Tenanglah, aku menyimpan amarah itu sendiri dan akan kulampiaskan pada pengemudi yang tak tahu diri hampir menabrak para pejalan kaki yang berlari-lari seperti dikejar hantu setiap pagi. Tak apa, anggap saja mereka buta warna sehingga tak bisa membedakan warna merah dan hijau seperti katamu atau tak punya cukup dana untuk membeli mobil bagus dengan rem kualitas bagus sehingga etika sering kali tergadai untuk menutupi biaya gengsi dan malu. Loh Maret, kenapa aku jadi seperti akan menyusun essay dan curhat begitu? Ah iya, aku memang kangen curhat padamu.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku menulis banyak tanpa kenal waktu. Jika tak sempat menulis di kertas atau koneksi internet membuat tuan segi empat yang setia di meja kamar menjadi lemah dan mengantuk, maka aku merangkumnya dalam pikiranku dan membiarkan sang tokoh di kepalaku mendongengkannya setiap malam. Sesekali dia datang saat aku berdiri dalam metro mini atau menyusun laporan yang harus selesai sore hari, dia masih saja bisa nyelip di laci memori. Loh Maret, kenapa aku jadi pengkhayal melulu? Ah iya, kamu pun banyak mondar-mandir di pikiranku tanpa izin dulu. Apa aku di kepalamu juga sering iseng begitu?
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku mencatat target belajar dan pekerjaanku hari itu dan mengerjakannya dengan rajin seperti pesanmu. Atau jika tidak, dengan sebisaku. Aku tak sabar untuk menceritakan keberhasilanku atau keberanianku mengalahkan ketakutanku. Begitupun kamu, aku yakin kita bisa menghadapi semua yang terbentang satu-satu. Aku ingin menjadi rajin, karena seperti katamu, aku bertanggung jawab pada diriku sendiri. Lagipula Allah suka hamba yang rajin. Aku ingin dikasih hadiah dan diberi kemudahan untuk segera bertemu kamu. Loh Maret, kenapa aku jadi pamrih begini? Ah iya, tak apa, Allah kan baik sekali.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku banyak bersujud pada Dzat yang mengendalikan hati manusia, hatiku dan hatimu. Rindu membuatku bersyukur dan menjadikanku dekat dengan-Nya dan seakan terhubung denganmu. Saat aku tak mampu melakukan apapun, aku berdoa yang panjang dan membujukNya agar kamu sehat-sehat selalu dan didekatkan pada yang kamu mau. Saat aku merasa tak mungkin berbuat apapun, aku percaya bahwa Allah Maha Menghendaki segala sesuatu asalkan bersabar dan berikhtiar. Lagipula yang baik untuk manusia belum tentu baik di sisi-Nya jadi berserah saja. Loh Maret, kenapa aku jadi bijak begini? Ah iya, kan baru belajar. Hidup dan waktu yang jadi pengajar.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku bermain-main dengan rencana. Mencari tahu tempat ini dan itu agar siapa tahu suatu hari kita bisa kesana. Makan yang enak dan makan yang banyak. Atau jalan-jalan sampai kelelahan. Ah Maret, tapi apa kau mau? Jika tidak mau, dengar saja ceritaku ya. Aku akan mencobanya sendiri. Asalkan janji, jangan iri. Tapi kalau kau tak iri, aku bisa menangis berhari-hari. Ah ternyata, kau memang tak peduli. Pantas saja orang bilang kalau wanita memang susah dimengerti.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku menjadi mudah berair mata. Ada nyeri di dada yang datang sesekali atau sebongkah perasaan yang mampir di sekitar rahang sehingga membuatku sulit tersenyum dengan riang. Tapi jangan sering begitu, katamu, tak baik untuk kesehatan. Nanti cepat tua! Ah, aku kan ingin cantik. Bagaimana dong? Air matanya sering nyelonong keluar sendiri, Maret. Aku terlalu cepat terbawa perasaan. Lalu aku bisa berubah menjadi iri hati pada mereka yang bisa bertemu sesuka hati. Tapi tetap saja tak mensyukuri. Ah, mungkin memang lebih baik aku menjauhi film, fiksi, atau lagu yang sedih-sedih. Walaupun kau tahu, aku suka sekali genre melankolis semacam itu.
Pada akhirnya, aku hanya ingin berpesan bahwa aku akan selalu ada untuk mendukungmu. Janganlah kalah dengan kesibukanmu, yang membuat kita terpedaya seperti tak lagi menyapa atau lupa kepada Pencipta. Janganlah berpaling dengan keakuanmu, yang menyulitkanmu meluangkan waktu entah beberapa menit dari seribu empat ratus empat puluh menit yang dikasih Tuhan dalam sehari. Aku tak perlu banyak, Maret. Sedikit saja. Percayalah, yang sedikit itu bisa membantuku memperbaiki hariku. Dan aku merasa berharga. Aku merasa diinginkan. Bukankah itu perasaan yang membuat kita bahagia, Maret?
Saat aku menulis ini, aku pun sedang merindukanmu Maret. Selalu. Rasa yang tumbuh dengan ranum dan terlalu. Kau tahu yang aku lakukan saat ini dalam keriduanku? Aku diam, Maret. Aku terbiasa diam. Aku ingin kau belajar untuk tahu perasaan itu melalui dirimu. Dan aku pikir kamu telah belajar banyak, Maret. Terima kasih. Aku merindukanmu. Ah iya, pada akhirnya ego harus mengalah. Aku tak tahan untuk tak mengucap itu. Hei, aku merindukanmu! :)
Image taken from here.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku mengirimkanmu puisi di siang hari untuk kau dengar sebelum tidur. Simpanlah, itu puisi-puisi kesukaanku. Jika kau pikir itu mengganggu, pasrah pada sinyal yang tak tentu justru lebih membuatku terganggu. Akhir-akhir ini aku harus beradu cepat dengan waktu yang tak ramah dan mengambil alih perhatianmu hingga aku menjadi mudah marah. Tenanglah, aku menyimpan amarah itu sendiri dan akan kulampiaskan pada pengemudi yang tak tahu diri hampir menabrak para pejalan kaki yang berlari-lari seperti dikejar hantu setiap pagi. Tak apa, anggap saja mereka buta warna sehingga tak bisa membedakan warna merah dan hijau seperti katamu atau tak punya cukup dana untuk membeli mobil bagus dengan rem kualitas bagus sehingga etika sering kali tergadai untuk menutupi biaya gengsi dan malu. Loh Maret, kenapa aku jadi seperti akan menyusun essay dan curhat begitu? Ah iya, aku memang kangen curhat padamu.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku menulis banyak tanpa kenal waktu. Jika tak sempat menulis di kertas atau koneksi internet membuat tuan segi empat yang setia di meja kamar menjadi lemah dan mengantuk, maka aku merangkumnya dalam pikiranku dan membiarkan sang tokoh di kepalaku mendongengkannya setiap malam. Sesekali dia datang saat aku berdiri dalam metro mini atau menyusun laporan yang harus selesai sore hari, dia masih saja bisa nyelip di laci memori. Loh Maret, kenapa aku jadi pengkhayal melulu? Ah iya, kamu pun banyak mondar-mandir di pikiranku tanpa izin dulu. Apa aku di kepalamu juga sering iseng begitu?
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku mencatat target belajar dan pekerjaanku hari itu dan mengerjakannya dengan rajin seperti pesanmu. Atau jika tidak, dengan sebisaku. Aku tak sabar untuk menceritakan keberhasilanku atau keberanianku mengalahkan ketakutanku. Begitupun kamu, aku yakin kita bisa menghadapi semua yang terbentang satu-satu. Aku ingin menjadi rajin, karena seperti katamu, aku bertanggung jawab pada diriku sendiri. Lagipula Allah suka hamba yang rajin. Aku ingin dikasih hadiah dan diberi kemudahan untuk segera bertemu kamu. Loh Maret, kenapa aku jadi pamrih begini? Ah iya, tak apa, Allah kan baik sekali.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku banyak bersujud pada Dzat yang mengendalikan hati manusia, hatiku dan hatimu. Rindu membuatku bersyukur dan menjadikanku dekat dengan-Nya dan seakan terhubung denganmu. Saat aku tak mampu melakukan apapun, aku berdoa yang panjang dan membujukNya agar kamu sehat-sehat selalu dan didekatkan pada yang kamu mau. Saat aku merasa tak mungkin berbuat apapun, aku percaya bahwa Allah Maha Menghendaki segala sesuatu asalkan bersabar dan berikhtiar. Lagipula yang baik untuk manusia belum tentu baik di sisi-Nya jadi berserah saja. Loh Maret, kenapa aku jadi bijak begini? Ah iya, kan baru belajar. Hidup dan waktu yang jadi pengajar.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku bermain-main dengan rencana. Mencari tahu tempat ini dan itu agar siapa tahu suatu hari kita bisa kesana. Makan yang enak dan makan yang banyak. Atau jalan-jalan sampai kelelahan. Ah Maret, tapi apa kau mau? Jika tidak mau, dengar saja ceritaku ya. Aku akan mencobanya sendiri. Asalkan janji, jangan iri. Tapi kalau kau tak iri, aku bisa menangis berhari-hari. Ah ternyata, kau memang tak peduli. Pantas saja orang bilang kalau wanita memang susah dimengerti.
Apa kau tahu yang aku lakukan ketika merindukanmu?
Aku menjadi mudah berair mata. Ada nyeri di dada yang datang sesekali atau sebongkah perasaan yang mampir di sekitar rahang sehingga membuatku sulit tersenyum dengan riang. Tapi jangan sering begitu, katamu, tak baik untuk kesehatan. Nanti cepat tua! Ah, aku kan ingin cantik. Bagaimana dong? Air matanya sering nyelonong keluar sendiri, Maret. Aku terlalu cepat terbawa perasaan. Lalu aku bisa berubah menjadi iri hati pada mereka yang bisa bertemu sesuka hati. Tapi tetap saja tak mensyukuri. Ah, mungkin memang lebih baik aku menjauhi film, fiksi, atau lagu yang sedih-sedih. Walaupun kau tahu, aku suka sekali genre melankolis semacam itu.
Pada akhirnya, aku hanya ingin berpesan bahwa aku akan selalu ada untuk mendukungmu. Janganlah kalah dengan kesibukanmu, yang membuat kita terpedaya seperti tak lagi menyapa atau lupa kepada Pencipta. Janganlah berpaling dengan keakuanmu, yang menyulitkanmu meluangkan waktu entah beberapa menit dari seribu empat ratus empat puluh menit yang dikasih Tuhan dalam sehari. Aku tak perlu banyak, Maret. Sedikit saja. Percayalah, yang sedikit itu bisa membantuku memperbaiki hariku. Dan aku merasa berharga. Aku merasa diinginkan. Bukankah itu perasaan yang membuat kita bahagia, Maret?
Saat aku menulis ini, aku pun sedang merindukanmu Maret. Selalu. Rasa yang tumbuh dengan ranum dan terlalu. Kau tahu yang aku lakukan saat ini dalam keriduanku? Aku diam, Maret. Aku terbiasa diam. Aku ingin kau belajar untuk tahu perasaan itu melalui dirimu. Dan aku pikir kamu telah belajar banyak, Maret. Terima kasih. Aku merindukanmu. Ah iya, pada akhirnya ego harus mengalah. Aku tak tahan untuk tak mengucap itu. Hei, aku merindukanmu! :)
Image taken from here.
Comments
semoga ada lanjutannya yg ke 12,13,14 dst :)