Filosofi Kue Cokelat Ummi
*sebuah kisah untuk mama yang kutulis di Hari Ibu*
Jika hidup layaknya gelembung sabun. Dia terlalu rapuh untuk bertahan. Melayang sekejap ke angkasa. Lalu musnah oleh cubitan udara dan gelombang. Hanya sesaat dia menikmati sensasi transformasi dari cairan sabun bening menjadi gelembung ringan yang mengawang-awang. Namun, sekali lagi. Dia terlalu rapuh. Layaknya hidup yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan. Itukah aku?
Jika hidup layaknya sebatang lilin. Dia terlalu penyayang. Mengorbankan dirinya untuk mampu menerangi sekitarnya. Agar seorang anak dapat membaca buku di balik keremangan. Agar penduduk tak perlu gelisah karena listrik padam. Agar sepasang insan dapat makan malam dengan nuansa kemewahan. Lantas, dia hanya bisa menyaksikan dengan kepasrahan. Perih? Mungkin. Senyum? Entahlah. Menunggu mati? Pasti. Namun, sekali lagi. Dia terlalu penyayang. Layaknya hidup yang dipenuhi kekuatan kasih dan pengorbanan sejati. Masihkah ada?
Jika hidup layaknya sepotong kue coklat. Inilah hidup yang kupilih. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Entahlah. Siapa yang akan jadi pengagumku? Tak perlu khawatir. Ummi dan aku adalah pengagum sejatiku. Aku ingin menjadi sepotong kue coklat untuknya. Yang mencegahnya dari lapar. Yang manisnya mengobatinya dari pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya membuat dia terlelap dalam senyum. Yang kehadirannya menghangatkan hatinya yang kalut...
Pagi yang sama.
Bedanya, hujan turun dengan deras di bulan Mei yang biasanya terik.
Aku masih ingat. Saat itu, aku masih berusia tujuh tahun. Pipi gembul dan rambut keriting yang tak pernah rapi menjadi pesonaku saat itu. Entah mengapa, pagi itu aku bisa bangun lebih awal dari biasanya. Sayup-sayup senandung firman Allah menjelang Subuh dan gelitik angin menusuk tubuhku yang tak suka berselimut. Aku bergegas melangkah ke dapur, meneguk air hangat.
Ummi sudah ada di sana. Jongkok di depan kompor dan ovennya yang berkarat. Tersenyum kepadaku, mengambil mangkuk besar yang sudah dicuci dan bersiap-siap meramu adonan kue lagi.
“Alhamdulillah, sudah bangun Nak?”
Aku mengangguk sambil garuk-garuk dan duduk di meja makan. Memperhatikan Ummi dengan tatapan khas anak-anak.
“Ummi, pagi-pagi kok udah bikin kue?”
“Hari ini banyak pesanan ya habibi...”
Ya, ini hari Minggu. Mungkin banyak yang mengadakan pesta atau ulang tahun.
“Kue coklat lagi ya, Mi?”
Ummi tersenyum simpul sambil mengiris-iris cooking chocolate untuk dilelehkan.
“Kenapa Ummi nggak bikin kue yang lain? Pasti bisa dapat lebih banyak uang dan pesanan, Mi...”
Syndrom bawel dan kritisku mulai keluar. Syukurlah, Ummi selalu mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya dengan kesabaran.
“Karena kue cokelat adalah ciri khasnya Ummi. Selain itu... dengan menatap kue-kue cokelat ini, seakan-akan membuat Ummi merasa dekat dengan Abi...”
Abi, aku tidak pernah mengingat wajah terakhirnya dengan jelas. Tapi saudara-saudaraku bilang bahwa Abi sangat tampan dengan perawakan khas Timur Tengah. Setidaknya, bola mata coklat dan rambut keritingnya menurun padaku. Namun, Allah terlalu sayang padanya. Abi meninggal sangat muda. Kira-kira lima tahun yang lalu karena serangan jantung. Abi sangat percaya khasiat cokelat yang dapat menyehatkan jantung. Dan, Ummi berhasil menaklukkan Abi dengan resep-resep kue cokelatnya yang luar biasa memikat! How sweet...
Syukurlah, Ummi tidak menghadapi semua itu layaknya gelembung sabun. Dia tetap tegar dan percaya pada skenarioNya. Membesarkanku dengan kasih sebagai single parent sejati dan kue cokelat – satu-satunya sumber penghasilan kami...
“Faza, tahukah Engkau, Nak? Ummi ingin mengajarkanmu sebuah filosofi. Bahwa kue cokelat itu bukan hanya lezat... tetapi juga penuh inspirasi... Setidaknya ada tiga pelajaran di baliknya, Nak...”
“Oh ya?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Bantu Ummi menakar adonan-adonan ini ya. Faza sudah belajar pengukuran kan di sekolah?”
Aku langsung berdiri di atas kursi. Merebut timbangan, membuka kemasan tepung dan menakarnya dengan seksama. Oh, meja dan lantai ikut dipenuhi tumpahan tepung. Lagi-lagi Ummi tidak marah...
“Harus tepat 300 gram ya, Mi?”
“Iya, my dear. Semua harus tepat pada takarannya. Layaknya hidup, kamu harus bisa bersikap dan bertindak sesuai porsinya. Jangan berlebihan, jangan pula kurang. Insya Allah, kamu akan berhasil, orang-orang akan menghargaimu dan kamu bisa membagi waktu dan hidupmu sesuai kebutuhan dan kewajibanmu. Bukankah, Allah juga tidak suka dengan orang-orang yang melampaui batas?”
Aku manggut-manggut saja. Saat itu, bermain-main dengan tepung jauh lebih menyita perhatian. Ibu berterima kasih dan memujiku karena sudah berhasil menakar adonan-adonan dengan baik. Aku sangat senang lalu garuk-garuk lagi.
“Ada yang bisa Faza bantu lagi?”
“Pertama, masukkan telurnya satu persatu. Kamu bisa membantu Ummi memecahkan telur-telur ini, Nak?”
Aku mengambil salah satu telur dari dalam plastik.
“Wah, telurnya ada yang retak. Gimana, Mi?”
“Kalau ada yang retak seperti itu, jangan dipakai. Pilih yang lain saja”
“Kenapa, Mi? Kan sayang... Mubazir lho...”
“Iya, my dear. Tapi Ummi punya tanggung jawab untuk menyajikan kue cokelat yang halalan thoyyiban. Kalau telurnya rusak, nanti kuenya tidak akan sebaik biasanya. Layaknya hidup, Faza. Jika kamu ingin memperoleh akhir yang baik,maka harus diawali dengan yang baik-baik...”
Aku menyisihkan telur itu dan melaksanakan perintahnya untuk mencampur adonan telur dan gula sementara Ummi melelehkan cooking chocolate. Melelahkan juga, batinku. Ummi tidak ingin menggunakan mixer. Ummi percaya bahwa proses manual seperti ini hasilnya jauh lebih memuaskan.
“Pelajaran yang ketiga apa, Mi?”
“Kamu tahu bagaimana cara melelehkan cooking chocolate ini?”
Aku berpikir sejenak dan mengintip ke arah Ummi. “Hmmm... cokelatnya dilelehkan di atas air yang sedang dipanaskan....”
“Dan, kamu harus menjaga agar lelehan cokelat ini tidak terkena cipratan air di bawahnya”
“Artinya?”
“Kamu harus berhati-hati. Jangan terpengaruh lingkunganmu, Nak. Jika lingkunganmu buruk dan sedikit saja lingkungan itu meracunimu... Kamu juga akan menjadi buruk...”
Lantunan azan di sela-sela hujan mengakhiri percakapan kami...
Pagi yang sama.
Kurang lebih sepuluh tahun sejak Ummi mengajarkan filosofi kue cokelatnya.
Pemandangan yang sama. Ummi sedang jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya. Potongan- potongan cooking chocolate dan proses manual. Tak banyak yang berubah.
Bedanya pagi ini tidak hujan. Hanya berawan dan matahari mengintip malu-malu.
Aku meneguk teh hangat dan menatap Ummi dengan pilu. Rutinitas yang sama setiap hari. Hari ini libur nasional. Tapi, Ummi tidak pernah libur.
Ummi mengangkat kue cokelat yang telah matang ke hadapanku. Aromanya menggigiti perutku yang kosong. Walaupun Ummi membuat kue cokelat setiap hari, bukan berarti aku bisa sering menikmatinya.
Ummi mengoleskan lelehan cokelat ke atas kue dengan sangat rapi.
“Mi, sepertinya akan lebih bagus kalau dihias dengan beraneka topping. Strawberry, cherry, white cream, almond, raisin... Kan kita harus mengikuti selera pasar...” saranku sambil mencicipi lelehan cokelat yang tumpah. Kebiasaanku yang satu ini memang tidak pernah berubah. Wajar saja, pipiku tidak pernah lepas dari julukan gembul sejak dulu.
“Untuk apa, Faza? Yang seperti itu sudah banyak yang jual. Biarlah Ummi tetap dengan ciri khas Ummi. Toh, rezeki Allah tetap ada...”
Aku meneguk ludah. “Ciri khas?”
“Kesederhanaan adalah yang menjadi ciri khas Ummi. Kue-kue ini tetap original. Itulah yang menyebabkan pelanggan-pelanggan Ummi mencintai kue Ummi...”
Dahiku mengernyit. Kini perhatianku mengarah pada tubuhnya yang semakin kurus. Sepertinya selama ini aku terlalu terpaku pada rutinitasku dan kurang memperhatikannya.
“Ummi, apakah Ummi tidak lelah?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu, Faza?”
“Mi... Faza sayang sama Ummi... Kenapa Ummi nggak memperkerjakan orang saja Mi untuk meringankan tugas Ummi... Sehingga kita bisa membuka stan di rumah... Jadi tidak hanya terpaku pada permintaan pelanggan...”
Ummi terhenti sejenak. Garis-garis wajahnya yang keras sangat terlihat. Sepertinya Ummi marah. Baru kali ini Ummi sangat marah!
“Itu sama saja kamu mau menghancurkan Ummi!”
“Ummi???”
“Ummi bekerja sangat keras untuk menemukan resep ini. Suatu kemustahilan jika Ummi harus memperkerjakan orang... dan memberitahukan rahasia-rahasia kue Ummi kepada orang lain!!!”
“Ummi, Faza tidak bermaksud demikian...”
Aku kaget. Histeris. Seperti ada bola golf yang masuk ke dalam kerongkongan.
“Biarlah Ummi yang menanggung ini sendirian, Nak. Supaya Ummi bisa menghemat... Bisa menabung... Supaya kamu bisa kuliah, Nak...”
Aku menangis dan langsung bersimpuh di kakinya.
Ternyata masih ada yang rela hidup layaknya sebatang lilin. Dipenuhi kekuatan kasih dan pengorbanan sejati.
Ya, Ummi...
Pagi yang sama.
Bedanya, pagi ini adalah pagi terakhirku bersama Ummi sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Berkat doa Ummi, aku berhasil lulus seleksi masuk PTN. Awalnya aku menolak untuk meneruskan kuliahku dengan berbagai pertimbangan finansial dan biaya. Tapi Ummi tetap bersikeras untuk memaksaku pergi.
“Allah tidak pernah tidur. Allah Maha Pemberi Rezeki, Nak. Jangan khawatir. Pergilah... Demi masa depanmu yang lebih baik. Demi janji Ummi kepada Abi...”
Masih di pagi yang sama.
Ummi sedang jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya.
Bedanya, pagi ini Ummi tidak melelehkan cooking chocolate. Ummi malah menangis. Menyembunyikan wajahnya dariku. Ya Allah ada apa?
“Semua kue Ummi pagi ini tidak mengembang, Nak...”
Dia menunjukkan kue-kuenya dan menghapus jejak-jejak air matanya.
“Tapi masih layak jual, kan?” Aku mencicipi sepotong. “Hmmm, masih enak... Bilang saja kalau ini jenis terbaru...”
“Dasar anak Ummi...” Ummi tertawa terbahak-bahak. “Mungkin Ummi terlalu sedih...”
“Ummi jangan sedih...”
“Ummi tidak sedih. Ummi sangat bangga padamu, Nak. Ummi hanya akan sangat merindukanmu”
Ummi memilin-milin rambut keritingku. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak dia lakukan.
“Entahlah. Ummi sangat merasa bodoh karena terlihat seperti gelembung sabun di hadapanmu, Nak..”
Aku memeluk tubuhnya yang dibalut daster kumal. Tapi dia tetap cantik. Sangat cantik. Kecantikan sejati yang terpancar dari hati.
“Setiap orang pernah rapuh, Mi...” jawabku. “Tidak apa-apakah Faza meninggalkan Ummi sendirian di Medan? Faza mengkhawatirkan Ummi...”
“Ummi malah sangat mengkhawatirkanmu jika kamu tetap di sini. Jemputlah masa depanmu, Nak... Jangan pikirkan Ummi. Sekarang hidup Ummi hanya untuk kamu. Allah yang akan selalu melindungi Ummi...”
“Ummi... ya Allah... Faza sayang Ummi...”
Akhirnya, aku menangis juga. Maaf Ummi, tak tertahan...
“Kamu tetap selalu ingat tiga filosofi kue cokelat dari Ummi kan?”
Aku mengangguk mantap.
“Kelak, kamu akan menjadi sepotong kue cokelat yang sangat lezat buat Ummi...”
Pagi yang sama.
Bedanya, kali ini Ummi tidak jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya.
Dia kini ada di hadapanku. Mengenakan kebaya cokelat yang sangat anggun. Menatapku di podium. Dengan toga wisuda dan status sebagai salah satu mahasiswa terbaik.
Allah memang Maha Pemberi Rezeki. Syukurlah, aku sudah diberikan kesempatan bekerja jauh lebih awal sebelum aku lulus. Ummi pasti bangga. Ummi pasti sangat bangga!
Aku mencium tangan Ummi yang kali ini tidak beraroma cokelat.
“Ummi, ini semua berkat filosofi Ummi...”
“Ini semua berkat Allah dan usahamu, my dear...”
“Ummi, tinggalah bersama Faza. Di sini, Mi. Ummi sudah terlalu lelah menjadi lilin buat Faza...”
“Ummi tidak akan pernah lelah menjadi lilinmu, Nak. Sampai akhir hayat Ummi...”
Ummi memelukku. Begitu hangat. Begitu dekat.
“Kini, kamu bukan hanya telah menjadi sepotong kue cokelat yang sangat lezat untuk Ummi...”
“Lalu?”
“Tetapi sekotak kue cokelat paling istimewa yang pernah ada...”
Alhamdulillah...
Jika hidup layaknya sepotong kue coklat. Inilah hidup yang kupilih. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Entahlah. Siapa yang akan jadi pengagumku? Tak perlu khawatir. Ibu dan aku adalah pengagum sejatiku. Aku ingin menjadi sepotong kue coklat untuknya. Yang mencegahnya dari lapar. Yang manisnya mengobatinya dari pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya membuat dia terlelap dalam senyum. Yang kehadirannya menghangatkan hatinya yang kalut...
Jika hidup layaknya gelembung sabun. Dia terlalu rapuh untuk bertahan. Melayang sekejap ke angkasa. Lalu musnah oleh cubitan udara dan gelombang. Hanya sesaat dia menikmati sensasi transformasi dari cairan sabun bening menjadi gelembung ringan yang mengawang-awang. Namun, sekali lagi. Dia terlalu rapuh. Layaknya hidup yang tak mampu beradaptasi dengan perubahan. Itukah aku?
Jika hidup layaknya sebatang lilin. Dia terlalu penyayang. Mengorbankan dirinya untuk mampu menerangi sekitarnya. Agar seorang anak dapat membaca buku di balik keremangan. Agar penduduk tak perlu gelisah karena listrik padam. Agar sepasang insan dapat makan malam dengan nuansa kemewahan. Lantas, dia hanya bisa menyaksikan dengan kepasrahan. Perih? Mungkin. Senyum? Entahlah. Menunggu mati? Pasti. Namun, sekali lagi. Dia terlalu penyayang. Layaknya hidup yang dipenuhi kekuatan kasih dan pengorbanan sejati. Masihkah ada?
Jika hidup layaknya sepotong kue coklat. Inilah hidup yang kupilih. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Entahlah. Siapa yang akan jadi pengagumku? Tak perlu khawatir. Ummi dan aku adalah pengagum sejatiku. Aku ingin menjadi sepotong kue coklat untuknya. Yang mencegahnya dari lapar. Yang manisnya mengobatinya dari pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya membuat dia terlelap dalam senyum. Yang kehadirannya menghangatkan hatinya yang kalut...
***
Pagi yang sama.
Bedanya, hujan turun dengan deras di bulan Mei yang biasanya terik.
Aku masih ingat. Saat itu, aku masih berusia tujuh tahun. Pipi gembul dan rambut keriting yang tak pernah rapi menjadi pesonaku saat itu. Entah mengapa, pagi itu aku bisa bangun lebih awal dari biasanya. Sayup-sayup senandung firman Allah menjelang Subuh dan gelitik angin menusuk tubuhku yang tak suka berselimut. Aku bergegas melangkah ke dapur, meneguk air hangat.
Ummi sudah ada di sana. Jongkok di depan kompor dan ovennya yang berkarat. Tersenyum kepadaku, mengambil mangkuk besar yang sudah dicuci dan bersiap-siap meramu adonan kue lagi.
“Alhamdulillah, sudah bangun Nak?”
Aku mengangguk sambil garuk-garuk dan duduk di meja makan. Memperhatikan Ummi dengan tatapan khas anak-anak.
“Ummi, pagi-pagi kok udah bikin kue?”
“Hari ini banyak pesanan ya habibi...”
Ya, ini hari Minggu. Mungkin banyak yang mengadakan pesta atau ulang tahun.
“Kue coklat lagi ya, Mi?”
Ummi tersenyum simpul sambil mengiris-iris cooking chocolate untuk dilelehkan.
“Kenapa Ummi nggak bikin kue yang lain? Pasti bisa dapat lebih banyak uang dan pesanan, Mi...”
Syndrom bawel dan kritisku mulai keluar. Syukurlah, Ummi selalu mampu menghadapi pertanyaan-pertanyaan anaknya dengan kesabaran.
“Karena kue cokelat adalah ciri khasnya Ummi. Selain itu... dengan menatap kue-kue cokelat ini, seakan-akan membuat Ummi merasa dekat dengan Abi...”
Abi, aku tidak pernah mengingat wajah terakhirnya dengan jelas. Tapi saudara-saudaraku bilang bahwa Abi sangat tampan dengan perawakan khas Timur Tengah. Setidaknya, bola mata coklat dan rambut keritingnya menurun padaku. Namun, Allah terlalu sayang padanya. Abi meninggal sangat muda. Kira-kira lima tahun yang lalu karena serangan jantung. Abi sangat percaya khasiat cokelat yang dapat menyehatkan jantung. Dan, Ummi berhasil menaklukkan Abi dengan resep-resep kue cokelatnya yang luar biasa memikat! How sweet...
Syukurlah, Ummi tidak menghadapi semua itu layaknya gelembung sabun. Dia tetap tegar dan percaya pada skenarioNya. Membesarkanku dengan kasih sebagai single parent sejati dan kue cokelat – satu-satunya sumber penghasilan kami...
“Faza, tahukah Engkau, Nak? Ummi ingin mengajarkanmu sebuah filosofi. Bahwa kue cokelat itu bukan hanya lezat... tetapi juga penuh inspirasi... Setidaknya ada tiga pelajaran di baliknya, Nak...”
“Oh ya?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Bantu Ummi menakar adonan-adonan ini ya. Faza sudah belajar pengukuran kan di sekolah?”
Aku langsung berdiri di atas kursi. Merebut timbangan, membuka kemasan tepung dan menakarnya dengan seksama. Oh, meja dan lantai ikut dipenuhi tumpahan tepung. Lagi-lagi Ummi tidak marah...
“Harus tepat 300 gram ya, Mi?”
“Iya, my dear. Semua harus tepat pada takarannya. Layaknya hidup, kamu harus bisa bersikap dan bertindak sesuai porsinya. Jangan berlebihan, jangan pula kurang. Insya Allah, kamu akan berhasil, orang-orang akan menghargaimu dan kamu bisa membagi waktu dan hidupmu sesuai kebutuhan dan kewajibanmu. Bukankah, Allah juga tidak suka dengan orang-orang yang melampaui batas?”
Aku manggut-manggut saja. Saat itu, bermain-main dengan tepung jauh lebih menyita perhatian. Ibu berterima kasih dan memujiku karena sudah berhasil menakar adonan-adonan dengan baik. Aku sangat senang lalu garuk-garuk lagi.
“Ada yang bisa Faza bantu lagi?”
“Pertama, masukkan telurnya satu persatu. Kamu bisa membantu Ummi memecahkan telur-telur ini, Nak?”
Aku mengambil salah satu telur dari dalam plastik.
“Wah, telurnya ada yang retak. Gimana, Mi?”
“Kalau ada yang retak seperti itu, jangan dipakai. Pilih yang lain saja”
“Kenapa, Mi? Kan sayang... Mubazir lho...”
“Iya, my dear. Tapi Ummi punya tanggung jawab untuk menyajikan kue cokelat yang halalan thoyyiban. Kalau telurnya rusak, nanti kuenya tidak akan sebaik biasanya. Layaknya hidup, Faza. Jika kamu ingin memperoleh akhir yang baik,maka harus diawali dengan yang baik-baik...”
Aku menyisihkan telur itu dan melaksanakan perintahnya untuk mencampur adonan telur dan gula sementara Ummi melelehkan cooking chocolate. Melelahkan juga, batinku. Ummi tidak ingin menggunakan mixer. Ummi percaya bahwa proses manual seperti ini hasilnya jauh lebih memuaskan.
“Pelajaran yang ketiga apa, Mi?”
“Kamu tahu bagaimana cara melelehkan cooking chocolate ini?”
Aku berpikir sejenak dan mengintip ke arah Ummi. “Hmmm... cokelatnya dilelehkan di atas air yang sedang dipanaskan....”
“Dan, kamu harus menjaga agar lelehan cokelat ini tidak terkena cipratan air di bawahnya”
“Artinya?”
“Kamu harus berhati-hati. Jangan terpengaruh lingkunganmu, Nak. Jika lingkunganmu buruk dan sedikit saja lingkungan itu meracunimu... Kamu juga akan menjadi buruk...”
Lantunan azan di sela-sela hujan mengakhiri percakapan kami...
***
Pagi yang sama.
Kurang lebih sepuluh tahun sejak Ummi mengajarkan filosofi kue cokelatnya.
Pemandangan yang sama. Ummi sedang jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya. Potongan- potongan cooking chocolate dan proses manual. Tak banyak yang berubah.
Bedanya pagi ini tidak hujan. Hanya berawan dan matahari mengintip malu-malu.
Aku meneguk teh hangat dan menatap Ummi dengan pilu. Rutinitas yang sama setiap hari. Hari ini libur nasional. Tapi, Ummi tidak pernah libur.
Ummi mengangkat kue cokelat yang telah matang ke hadapanku. Aromanya menggigiti perutku yang kosong. Walaupun Ummi membuat kue cokelat setiap hari, bukan berarti aku bisa sering menikmatinya.
Ummi mengoleskan lelehan cokelat ke atas kue dengan sangat rapi.
“Mi, sepertinya akan lebih bagus kalau dihias dengan beraneka topping. Strawberry, cherry, white cream, almond, raisin... Kan kita harus mengikuti selera pasar...” saranku sambil mencicipi lelehan cokelat yang tumpah. Kebiasaanku yang satu ini memang tidak pernah berubah. Wajar saja, pipiku tidak pernah lepas dari julukan gembul sejak dulu.
“Untuk apa, Faza? Yang seperti itu sudah banyak yang jual. Biarlah Ummi tetap dengan ciri khas Ummi. Toh, rezeki Allah tetap ada...”
Aku meneguk ludah. “Ciri khas?”
“Kesederhanaan adalah yang menjadi ciri khas Ummi. Kue-kue ini tetap original. Itulah yang menyebabkan pelanggan-pelanggan Ummi mencintai kue Ummi...”
Dahiku mengernyit. Kini perhatianku mengarah pada tubuhnya yang semakin kurus. Sepertinya selama ini aku terlalu terpaku pada rutinitasku dan kurang memperhatikannya.
“Ummi, apakah Ummi tidak lelah?”
“Kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal itu, Faza?”
“Mi... Faza sayang sama Ummi... Kenapa Ummi nggak memperkerjakan orang saja Mi untuk meringankan tugas Ummi... Sehingga kita bisa membuka stan di rumah... Jadi tidak hanya terpaku pada permintaan pelanggan...”
Ummi terhenti sejenak. Garis-garis wajahnya yang keras sangat terlihat. Sepertinya Ummi marah. Baru kali ini Ummi sangat marah!
“Itu sama saja kamu mau menghancurkan Ummi!”
“Ummi???”
“Ummi bekerja sangat keras untuk menemukan resep ini. Suatu kemustahilan jika Ummi harus memperkerjakan orang... dan memberitahukan rahasia-rahasia kue Ummi kepada orang lain!!!”
“Ummi, Faza tidak bermaksud demikian...”
Aku kaget. Histeris. Seperti ada bola golf yang masuk ke dalam kerongkongan.
“Biarlah Ummi yang menanggung ini sendirian, Nak. Supaya Ummi bisa menghemat... Bisa menabung... Supaya kamu bisa kuliah, Nak...”
Aku menangis dan langsung bersimpuh di kakinya.
Ternyata masih ada yang rela hidup layaknya sebatang lilin. Dipenuhi kekuatan kasih dan pengorbanan sejati.
Ya, Ummi...
***
Pagi yang sama.
Bedanya, pagi ini adalah pagi terakhirku bersama Ummi sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Berkat doa Ummi, aku berhasil lulus seleksi masuk PTN. Awalnya aku menolak untuk meneruskan kuliahku dengan berbagai pertimbangan finansial dan biaya. Tapi Ummi tetap bersikeras untuk memaksaku pergi.
“Allah tidak pernah tidur. Allah Maha Pemberi Rezeki, Nak. Jangan khawatir. Pergilah... Demi masa depanmu yang lebih baik. Demi janji Ummi kepada Abi...”
Masih di pagi yang sama.
Ummi sedang jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya.
Bedanya, pagi ini Ummi tidak melelehkan cooking chocolate. Ummi malah menangis. Menyembunyikan wajahnya dariku. Ya Allah ada apa?
“Semua kue Ummi pagi ini tidak mengembang, Nak...”
Dia menunjukkan kue-kuenya dan menghapus jejak-jejak air matanya.
“Tapi masih layak jual, kan?” Aku mencicipi sepotong. “Hmmm, masih enak... Bilang saja kalau ini jenis terbaru...”
“Dasar anak Ummi...” Ummi tertawa terbahak-bahak. “Mungkin Ummi terlalu sedih...”
“Ummi jangan sedih...”
“Ummi tidak sedih. Ummi sangat bangga padamu, Nak. Ummi hanya akan sangat merindukanmu”
Ummi memilin-milin rambut keritingku. Sesuatu yang sudah lama sekali tidak dia lakukan.
“Entahlah. Ummi sangat merasa bodoh karena terlihat seperti gelembung sabun di hadapanmu, Nak..”
Aku memeluk tubuhnya yang dibalut daster kumal. Tapi dia tetap cantik. Sangat cantik. Kecantikan sejati yang terpancar dari hati.
“Setiap orang pernah rapuh, Mi...” jawabku. “Tidak apa-apakah Faza meninggalkan Ummi sendirian di Medan? Faza mengkhawatirkan Ummi...”
“Ummi malah sangat mengkhawatirkanmu jika kamu tetap di sini. Jemputlah masa depanmu, Nak... Jangan pikirkan Ummi. Sekarang hidup Ummi hanya untuk kamu. Allah yang akan selalu melindungi Ummi...”
“Ummi... ya Allah... Faza sayang Ummi...”
Akhirnya, aku menangis juga. Maaf Ummi, tak tertahan...
“Kamu tetap selalu ingat tiga filosofi kue cokelat dari Ummi kan?”
Aku mengangguk mantap.
“Kelak, kamu akan menjadi sepotong kue cokelat yang sangat lezat buat Ummi...”
***
Pagi yang sama.
Bedanya, kali ini Ummi tidak jongkok di depan kompor dan oven berkaratnya.
Dia kini ada di hadapanku. Mengenakan kebaya cokelat yang sangat anggun. Menatapku di podium. Dengan toga wisuda dan status sebagai salah satu mahasiswa terbaik.
Allah memang Maha Pemberi Rezeki. Syukurlah, aku sudah diberikan kesempatan bekerja jauh lebih awal sebelum aku lulus. Ummi pasti bangga. Ummi pasti sangat bangga!
Aku mencium tangan Ummi yang kali ini tidak beraroma cokelat.
“Ummi, ini semua berkat filosofi Ummi...”
“Ini semua berkat Allah dan usahamu, my dear...”
“Ummi, tinggalah bersama Faza. Di sini, Mi. Ummi sudah terlalu lelah menjadi lilin buat Faza...”
“Ummi tidak akan pernah lelah menjadi lilinmu, Nak. Sampai akhir hayat Ummi...”
Ummi memelukku. Begitu hangat. Begitu dekat.
“Kini, kamu bukan hanya telah menjadi sepotong kue cokelat yang sangat lezat untuk Ummi...”
“Lalu?”
“Tetapi sekotak kue cokelat paling istimewa yang pernah ada...”
***
Alhamdulillah...
Jika hidup layaknya sepotong kue coklat. Inilah hidup yang kupilih. Nikmat. Hangat. Sederhana tapi istimewa. Selalu ditunggu dan dinanti pengagumnya. Entahlah. Siapa yang akan jadi pengagumku? Tak perlu khawatir. Ibu dan aku adalah pengagum sejatiku. Aku ingin menjadi sepotong kue coklat untuknya. Yang mencegahnya dari lapar. Yang manisnya mengobatinya dari pahit dan getirnya hidup. Yang aromanya membuat dia terlelap dalam senyum. Yang kehadirannya menghangatkan hatinya yang kalut...
***
Comments