#4 Kompleksitas
Klimaks dari benang merah kita: Aku mengetuk pintu hampa...
Aku ingin menjadi pribadi yang sederhana. Yang bisa berpikir dengan sederhana. Mencintaimu dengan sederhana. Dan menjalani hidup dengan sederhana.
Sederhana.
Karena kebahagiaan itu sederhana. Sesederhana senyum di pagi hari dan menyapamu. Itu saja.
Aku benci kompleksitas ini. Saat aku selalu terpaku pada kegagalan, bukan proses. Saat aku lebih mengelu-elukan risiko, bukan kesempatan. Saat aku lebih berfokus pada Z, bukan B, C, atau D yang datang lebih dahulu setelah A.
Kompleksitas itu aku. Yang membiarkan hatiku dipagari dinding beton berlapiskan kawat berduri, tapi bagian dalamnya reot, rusak parah. Berdarah.
Kompleksitas itu aku. Yang tergila-gila membohongi suara hati, membingkainya dalam ketakutan, hingga aku tak mendengar apa-apa lagi selain suara nina bobo dari sekeliling yang hangat di telinga. Tapi membakar mawarku. Ilalangku yang tak lagi segar. Dan bunga-bunga yang tak lagi mekar.
Kompleksitas itu aku. Yang terlalu banyak tidur dalam negeri dongeng, hingga tak tahu lagi apa yang nyata dan yang khayal. Yang nyata bahwa istanaku sudah tak lagi mengenal hujan karena dilanda kemarau panjang. Yang khayal adalah aku tetap mengenakan payung, tersenyum. Entah untuk apa. Mungkin, berpura-pura bahagia. Berorasi dengan ketidakpercayaan pada kepastian yang datang – darimu – yang selama ini kucari dan selalu kuagungkan.
“Tapi kenapa?”
“Karena aku takut”
Seperti sim salabim. Lalu engkau tak lagi berdiri di sana.
Kompleksitasku meradang. Bertransformasi menjadi air mata. Tumpah ruah. Dari dalam dada bergema sesuatu yang selama ini kupaksa untuk bisu, “Aku telah merelakan yang berharga: kamu”.
Aku ingin menjadi pribadi yang sederhana. Yang bisa berpikir dengan sederhana. Mencintaimu dengan sederhana. Dan menjalani hidup dengan sederhana.
Sederhana.
Karena kebahagiaan itu sederhana. Sesederhana senyum di pagi hari dan menyapamu. Itu saja.
Aku benci kompleksitas ini. Saat aku selalu terpaku pada kegagalan, bukan proses. Saat aku lebih mengelu-elukan risiko, bukan kesempatan. Saat aku lebih berfokus pada Z, bukan B, C, atau D yang datang lebih dahulu setelah A.
Kompleksitas itu aku. Yang membiarkan hatiku dipagari dinding beton berlapiskan kawat berduri, tapi bagian dalamnya reot, rusak parah. Berdarah.
Kompleksitas itu aku. Yang tergila-gila membohongi suara hati, membingkainya dalam ketakutan, hingga aku tak mendengar apa-apa lagi selain suara nina bobo dari sekeliling yang hangat di telinga. Tapi membakar mawarku. Ilalangku yang tak lagi segar. Dan bunga-bunga yang tak lagi mekar.
Kompleksitas itu aku. Yang terlalu banyak tidur dalam negeri dongeng, hingga tak tahu lagi apa yang nyata dan yang khayal. Yang nyata bahwa istanaku sudah tak lagi mengenal hujan karena dilanda kemarau panjang. Yang khayal adalah aku tetap mengenakan payung, tersenyum. Entah untuk apa. Mungkin, berpura-pura bahagia. Berorasi dengan ketidakpercayaan pada kepastian yang datang – darimu – yang selama ini kucari dan selalu kuagungkan.
“Tapi kenapa?”
“Karena aku takut”
Seperti sim salabim. Lalu engkau tak lagi berdiri di sana.
Kompleksitasku meradang. Bertransformasi menjadi air mata. Tumpah ruah. Dari dalam dada bergema sesuatu yang selama ini kupaksa untuk bisu, “Aku telah merelakan yang berharga: kamu”.
Comments
menjadi sederhana terkadang memang sulit.
omong2, salam kenal ya :)
i've visited your blog, too :)
yaa, menjadi sederhana memang sulit. ayo sama2 belajar :D