Klimaks: Kita

Kita berdua masih menyukai analogi yang sama – tentang kisah cinta abadi sang bintang siang dan satelit bumi penghias malam. Analogi yang membuatmu menyindirku. Bagaimana mungkin kau bisa memaksakan datangnya perpisahan? Sementara aku dan kamu tertarik ke kutub yang sama – layaknya matahari dan bulan yang tetap bertahan karena gaya tarik yang menjembatani keduanya walau hanya mampu bersua beberapa jam dalam gerhana dan beberapa menit yang istimewa dalam fajar dan senja.

Kita berdua masih meyakini hal yang sama – tentang kebahagiaan yang datang diam-diam. Layaknya butiran gula yang ditaburi di atas kue cokelat. Begitu riang, manis, dan tanpa suara. Persis aku – yang sering bicara dalam hening saat di dekatmu dengan aura yang meletup-letup bahagia. Terlalu bahagia dengan kehadiranmu yang datang lagi duduk manis menyantap sisa roti bakarmu di dapurku.

Kita berdua masih mengagumi siklus alam yang sama – tentang daun-daun yang berguguran tepat pada waktunya. Bagiku, daun-daun kering ini adalah sebuah simbol tentang masa lalu dan sekaligus masa depan. Lihatlah daun yang setia itu, saat dia telah berpisah dengan rantingnya pun dia tetap mencintai dengan bijak. Tubuhnya yang hancur berkeriput digerogoti tanah beraroma petrichor menjadi humus untuk kelahiran daun-daun baru – menggantikan tempatnya di ranting yang ikut menua.

Yang berbeda adalah kita saling duduk bersisian di bukit ini dengan jarak sepuluh centimeter dikelilingi oleh daun-daun kering berjatuhan yang berbau hujan. Yang berbeda adalah kita sama-sama melahap kue cokelat bergula pelan-pelan dengan hati yang saling merangkul. Yang berbeda adalah kita bergantian menatap awan merah yang mengiringi petang sambil sesekali mencuri pandang ke arahmu dan kita tersenyum malu-malu dipayungi oleh horizon langit yang bermesraan dengan panorama jingga.

Aku selalu suka petang.

Petang yang menjadi saksi kebahagiaan matahari yang berjinjit menuju ufuk barat mengiringi bulan yang merangkak menghiasi kegelapan. Petang yang menjadi perlambang pertemuan hikmat dua makhluk Tuhan dan seakan alam semesta menghadiahkan keduanya dengan kemeriahan mahkota langit yang berwarna merah, emas dan keunguan. Petang yang membuat daun-daun berhenti memasak untuk alam dan tidur nyenyak digelitik oleh semilir angin yang bergelayutan.

Lalu kita berbicara tentang apa saja yang terlihat secara nyata. Tidak lagi berkisah tentang kerisauan dan ketidakpastian dalam fatamorgana yang kuciptakan sendiri. Dan salah satu yang nyata saat ini adalah kamu.

Kamu. Ketidaksempurnaan yang begitu tampak sempurna untukku.

“Pernahkah engkau bertanya-tanya tentang apa yang dikatakan pohon pada burung yang hanya hinggap sesaat di batangnya lalu terbang?” tanyaku kemudian.

“Menurutku, dia tak pernah bertanya, tak pernah berkata. Dia hanya tersenyum karena bisa bermanfaat bagi alam apakah itu untuk sesaat atau bukan. Mengapa bertanya demikian?”

“Karena terkadang itulah yang kurasakan”

“Tentang aku? Aku analogi burung itu?”

“Tidak semua hal layak dianalogikan, sayang”

Aku pun mengangguk dengan pipi merah jambu.

“Tapi lihatlah, burung yang tadi terbang kembali lagi. Membangun sarang di situ dan mengerami telurnya hingga terkantuk-kantuk” jawabmu. “Demikian pula aku, aku kembali pulang. Tak ada tempat yang lebih baik selain hatimu”

Petang semakin menggeliat. Dingin. Tapi hatiku begitu hangat.

“Kamu tahu siapa orang yang paling bahagia?”

Aku menggeleng.

“Yakni orang yang bisa berkosentrasi pada saat ini. Tidak hidup pada masa lalu dan merisaukan masa depan. Orang yang bisa mendengar kata hatinya, membedakannya dari suara egonya, dan berjalan ke depan menuju kebahagiaannya”

Dan karena kamu adalah cinta yang nyata saat ini, aku pun bahagia karenanya. Bahagia karena bisa mendengarkan suara hatiku kembali dalam ego yang memekakkan batin.

Lalu kita pun berjalan bergenggaman – menuruni bukit, trotoar, dan jalan yang ramai dengan deru kendaraan. Melangkah bersama dari masa lalu.

Terima kasih pada kehampaan – yang pernah menghakimiku – dan telah mengajarkanku makna cinta dan kehilangan.

Dan, makna kamu, seutuhnya.

****FIN***

Comments

Ra said…
whooooaa, anak stan juga po? =Q

tulisanmu keren, supppeeeeerrr (>,<)b

hhaha
Anonymous said…
berkisah tentang LDR/M ya..
salut.. Kereen Abissssss..
aku suka analogi-analoginya..
Unknown said…
blogwalking, n nice posting...
Imam Subhan said…
keren keren...
blognya juga keren..

hehe
Tanaya said…
keren analogi n metaforanya",

lembut n manis...
@ra: iyaa, alumni stan :). Tulisanmu juga keren, srng menang blog award juga :D

@anon: bukan LDR, hehe

@adlan: thank you ^^

@imam: ayooo smangat posting :)

@naya: thank you, dear ^^

Popular Posts