Benih

Akhir-akhir ini, aku terlalu banyak menanam hal dalam pikiran. Baik dan buruk sudah bukan pertimbanganku lagi. Mulai dari bagaimana cara membayar utangku yang membengkak karena tagihan kartu kredit bulanan hingga inflasi nasional yang harus kuhitung secara matematis lalu kutampilkan secara grafis sebagai penentu kebijakan publik. Anggap saja aku analis padahal jika kau bertanya padaku, sungguh aku tak tahu bagaimana rupa gejala ekonomi yang tak pernah henti menghantui pemerintah itu. Percayalah, aku hanya pintar bermain kata-kata. Tepatnya, aku hanya butuh gajiku dibayar tepat waktu. Itu saja.

Apa iya aku terlalu banyak berpikir? Rambut hitam mulai langka di usiaku yang masih terbilang muda. Tepatnya ini warna apa? Buka putih bukan pula jingga. Ah sudahlah, yang penting tugasku malam ini selesai. Mengurus negara bermasalah ini menyulitkan sekali. Padahal hidupku sendiri pun sudah sulit, masa iya aku masih harus menyelamatkan negeri?

Ya Tuhan, apa lagi ini? Persediaan logistik menipis karena spekulasi dan kuota impor dibatasi? Sedangkan produk domestik tak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri? Harga-harga melonjak naik tinggi dan lagi-lagi aku harus membohongi negeri bahwa semua baik-baik di bawah kendali? Pendidikan sarjana dan master yang sudah menghabiskan tenaga dan ratusan juta hanya berakhir untuk kepentingan si itu dan si ini? Aku tahu siapa yang bermain di balik semua ini. Ah, menyedihkan. Tapi bayaran kali ini menjanjikan. Ya sudahlah, aku pun harus membeli obat untuk memelihara tubuh yang sudah mulai sakit-sakitan.

Kepala berat sekali. Apa saja yang aku biarkan disantap oleh si otak ini? Susah tidur. Lidah pahit. Kulit kepala gatal-gatal padahal aku keramas setiap hari. Tapi, hei, apa ini? Aku memang jarang bercermin, tapi apa ini? Semacam sulur tanaman muncul dari akar rambut dengan panjang tiga sampai lima sentimeter! Tak mungkin, ini pasti imajinasi karena aku terlalu banyak berpikir.

Aku sakit kepala parah setelah beberapa hari sejak imajinasiku tentang sulur yang mengada-ada. Aku tidak mau ke dokter, tak ada uang. Entah mengapa aku tak pernah bisa punya simpanan, pendapatan habis terus untuk makan dan utang. Padahal dengan pekerjaan elite itu aku tak perlu sengsara. Apa iya ini karena benih jahat yang aku tanam di dalam otakku? Benih dari hasil membodohi negeri? Meninabobokan masyarakat demi alasan keselamatan rakyat? Ouch, Tuhan... sakit sekali! Ah, tapi aku harus tetap bekerja. Banyak sekali data-data yang masih harus aku manipulasi.

Ini terlalu sakit! Aku tak bisa menahan lagi. Setiap aku mencoba mengetik tuts keyboard, sulur itu semakin panjang dan mencambuk wajahku sendiri. Bola mata seakan terlepas. Sakiiit! Aku masih mencoba menggapai laptop di pangkuanku, dan... tak sanggup! Detik ini aku sadar bahwa sulur ini bukan sebatas imaji. Ini nyata. Ini nyata! Sulur itu menguasai tubuhku, akarnya menyengat otak, dan melilit tubuhku sendiri. Aku terhisap! Aku terhisaaaap oleh benih yang kutanam sendiri.

Aku mati.

Dengan jari yang hampir saja menekan digit terakhir pertanda kehancuran negeri.

Comments

Popular Posts