Karena Satu Sama Dengan Tujuh
Matahari
bangun pagi-pagi sekali.
Dia segera menggelitik dedaunan
yang masih tertidur pulas dengan sinarnya yang lembut dan menyelinap hingga ke
celah-celah ranting terdalam. Sepasang burung pipit terbangun, mengepakkan
sayap berulang-ulang, dan mempersembahkan senandungnya yang riang.
“Selamat pagi, matahari”, ujar
mereka. Matahari tersenyum dan kembali menjentikkan sinarnya yang genit pada
para daun.
“Ayo bangun. Bukankah kalian
harus memasak? Mangga-mangga ranum siap untuk dipanen”. Para bayi daun menguap
lebar dan berusaha membuka matanya yang terkatup erat. Para ayah daun dan para ibu
daun menghirup udara banyak-banyak dan menyaring sinar matahari untuk diolah
menjadi makanan satu keluarga besar pohon mangga setiap harinya dan disimpan
sebagian untuk diramu sebagai calon buah mangga yang lezat dan istimewa.
Para kakek dan nenek daun
beristirahat menikmati semilir angin sambil sesekali bercakap-cakap dengan para
bayi daun. Tubuh mereka sangat rapuh, dan tidak ada yang pernah menduga pada
detik ke berapa angin akan menghempaskan mereka dari ranting ke bumi. Tapi
mereka tak pernah khawatir. Karena apa yang jatuh ke bumi, akan abadi. Mereka
akan mati dan hancur menjadi material penyubur bumi, diserap oleh sang akar yang
sakti, dimasak oleh para koki daun yang ahli, dan terlahir kembali sebagai daun
baru yang suci – semacam reinkarnasi.
“Lihatlah, makanan sudah tiba!”,
kata selembar daun remaja yang bersiaga di pucuk. Sepasang kakek nenek yang
hidup berdua mendiami rumah itu sejak pernikahan tahun pertama mereka rutin
menebar pupuk, ampas teh, dan air beras yang kaya gizi di tanah tempat sang
pohon tegak berdiri. Pohon itu tepat ditanam di pekarangan pada bulan kedua
kehamilan pertama sang nenek, sekitar tiga puluh dua tahun yang lalu. Sang
anak dan cucu mengunjungi rumah ini di setiap libur panjang dan menjadikan
mangga yang terkenal kenikmatannya turun temurun dan para tetangga ini menjadi
oleh-oleh yang utama.
“Baiklah, aku akan bersiap!
Siapkan kekuatan!”, kata sang akar menyiapkan tenaganya untuk menghisap makanan
dengan suka cita.
“Selamat memasak! Mari kita
persembahkan buah yang banyak dan manis untuk kakek nenek dan para cucu yang
baik hatinya”, sahut para ibu daun bernyanyi mempersiapkan amunisi untuk
memberi makan alam dan kehidupan.
Seperti biasa, pekarangan selalu
riuh dengan kebahagiaan dan giatnya pagi. Sayangnya, manusia tak mampu
mendengar ini. Jika bisa, pasti kita akan malu sendiri.
***
“Apa ini perasaanku saja atau memang
buah mangga yang kita hasilkan jumlah dan kualitasnya selalu menurun sepanjang tahun?” tanya sang
kakek daun sambil menatap ke calon buah yang muncul terlambat dari masa yang seharusnya
“Kami sudah berusaha keras. Sedih
sekali jika kami gagal mencipta panen yang berlimpah”, ujar para ibu daun
gundah.
“Mungkin karena sudah banyak
bangunan tinggi di samping dan seberang hingga kita tidak memperoleh cahaya
yang berkecukupan”, sang remaja daun berasumsi. Matahari menyipitkan matanya
menyadari dirinya ikut tersangkut paut.
“Aku sudah menghisap makanan
sekuat yang aku bisa! Lihatlah akar yang mencengkram tanah ini sudah tumbuh
dengan perkasa. Ini bukan salahku!”, tandas sang akar tegas tak ingin
disalahkan. Dia terus memompa air ke batang dan daun agar mereka tak
kehausan.
“Hai bunga, apa ada masalah?”
tanya sang kakek daun lagi.
Mereka diam saja. Hanya berbisik malu-malu.
“Baiklah kami harus jujur. Tapi
tolong jangan marahi kami”. Semuanya mengangguk.
“Kalian harus tahu bahwa tidak
banyak kupu-kupu yang hadir untuk berkunjung lalu menukarkan serbuk sari ke
putik yang kami punya. Apa mungkin kami memang tidak menarik?”, ujar sang bunga
betina sedih.
“Bukan, kalian bukan tidak
menarik. Tapi populasi kupu-kupu terutama di perkotaan memang sudah kian
menipis. Seandainya ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan”, jawab
sang bunga jantan menghentikan tangis para bunga betina.
Dalam kebimbangan, terdengar
suara remahan dari kejauhan. Tepatnya dari pucuk pohon tempat para bayi daun
berkembang.
“Krok krok krok.....”
“Hihihihihihi” para bayi daun
tertawa kegelian.
“Lihat ada seekor ulat tidak tahu
diri!” kata kakek daun.
“Jangan biarkan dia memakan
bayiku. Awan dan angin berbuatlah sesuatu!”, sang ibu daun merintih melihat
tubuh bayinya berlubang dimakan oleh sang ulat daun yang entah datang darimana.
“Permisi ibu, adik, kakek, dan
nenek. Saya butuh makan... Jika tidak makan, maka saya akan mati...”, kata sang
ulat memohon iba untuk tubuhnya yang kurus dan kelaparan.
“Jika kamu memakan anak-anakku.
Mereka yang akan mati!”, jerit para ayah dan ibu daun.
“Kamu mempersulit masalah saja,
kami sedang dalam kesusahan. Kau malah datang membawa masalah baru!”, lanjut
para bunga sambil bersungut-sungut.
“Aku tidak akan membunuh
anak-anak kalian. Aku berjanji. Aku hanya butuh makan sedikit saja, agar aku
dapat menjadi kepompong... sakit sekali. Jika tidak aku akan mati...”
“Aku tidak rela jika kerja
kerasku harus dinikmati oleh tamu tak diundang itu!”, sang akar menggoncangkan
tubuh sang pohon dari bawah. Dia sangat marah hingga para daun tua yang
menunggu maut jatuh pelan-pelan dari kediamannya dan memejamkan mata dengan
damai.
“Tidak apa-apa Ibu, kasihan
sekali teman kami ini. Tak apa wajahku tidak mulus begini. Asalkan dia bisa
tertolong, Ibu...”, kata sang bayi daun sambil kegelian digerogoti oleh sang
ulat.
“Kami tidak rela!”, jawab seluruh
ibu daun. “Nak....”
“Ibu... percayalah. Dia tidak
jahat, ibu. Hanya geli sedikit. Luka yang ada di tubuh kami ini tidaklah
berbanding apa-apa ibu dibandingkan dengan penderitaannya akibat menahan lapar
itu Ibu...”
Matahari memandang dari balik
awan. Keheningan menyeruak bersama desir angin yang berhembus menggetarkan
ranting yang meneguhkan angguk mereka dan menyatakan setuju pada apa yang
disebutkan para bayi daun.
“Bukankah satu kebaikan akan
berbuah tujuh kebaikan yang lain Ibu? Bukankah Ibu yang mengajarkan itu?”
“Nak...”
“Aku akan berterima kasih suatu
hari nanti pada kalian karena telah menyelamatkan hidupku” janji sang ulat
menunduk sendu. Semua mata kini tertuju padanya.
“Bukankah makhluk alam harus
saling mencintai, Ibu? Sekali lagi, bukankah Ibu yang mengajarkan itu?”
Seketika hujan turun. Mereka tak
bicara apa-apa lagi.
***
Sudah beberapa hari para bayi
daun digerogoti oleh sang ulat yang tak bisa pergi. Dia mendadak mencintai
pohon ini dan tak lagi dipungkiri bayi daun memang sangat nikmat dan bergizi. Para
bayi daun pelan-pelan mati dengan tubuh yang keropos dan luka di sana sini.
Namun wajah mereka bahagia berseri. Tak ada tanda penyesalan di senyum yang
terukir sebagaimana kata-kata mereka yang terakhir, “Satu kebaikan akan berbuah
tujuh kebaikan yang lain Ibu. Jangan bersedih. Aku sudah berbuat baik. Dia
temanku. Dia teman kita...”
Para bayi daun jatuh ke bumi.
Sang pohon berduka.
Dan sang ulat pun sedang mati
suri di dalam kepompongnya.
***
Para
bunga merenung. Sebentar lagi tiba waktunya musim berbuah. Tapi tak satupun kupu-kupu
yang mampir mencumbu mahkota mereka.
“Jika
para anak dan cucu sudah datang, dan kita tak mampu menyajikan buah sebagaimana
yang diinginkan, mungkin kita akan ditebang”, ujar sang batang menerawang
memandang ribuan daun rimbun yang menghinggapinya.
“Jangan
pesimis begitu! Kau tidak menghargai aku!”, kata sang akar sebal.
“Jika
kalian ditebang, kami akan tinggal dimana? Kalian adalah pohon ternyaman yang
pernah kami temui...”, kata sang burung pipit memohon keajaiban.
“Aku
masih percaya dengan pesan bayi-bayiku bahwa... satu kebaikan akan berbuah
tujuh kebaikan yang lain. Kebaikan dan cinta itu tak akan gagal. Aku masih
percaya”, sahut sang ibu daun sambil menjaring cahaya untuk mempersiapkan makan
siang.
“Aku
percaya!”, ujar sang bunga betina.
“Hei,
ada apa?”
“Lihat!
Ramai sekali kupu-kupu yang hadir menemui kami! Lihat!”
“Benarkah?”
para daun menatap kumpulan kupu-kupu yang memenuhi bunga jantan dan betina. Pemandangan
yang sangat cantik. Merah jingga ungu dan hitam mengepak menjadi satu harmoni.
Tak pernah sebanyak ini.
“Hei,
ada apa? Dari dalam sini aku tak bisa lihaaaat!”, jerit sang akar iri. Dia
mengutus beberapa ekor semut untuk mengintip dan bercerita kembali.
“Masih
ingat aku? Aku adalah ulat yang dulu pernah kalian selamatkan... Para bayi daun
itu menyelamatkan aku yang tersesat dan kelaparan. Terima kasih...”
“Ulat
daun, kaukah itu?”
Sang
ulat yang dulu dibenci telah berubah menjadi kupu-kupu jelita bersayap cokelat
kuning dan hitam yang sehat dan gemulai.
“Ya
ini aku. Aku sudah berubah menjadi
seperti ini. Aku diam-diam selalu mencuri dengar yang kalian
perbincangkan, tentang apa yang kalian permasalahkan. Tapi saat itu, saat masih
menjadi ulat aku tak bisa menolong... Di dalam kepompong, aku menangis
sejadi-jadinya saat bayi daun itu mati karena ulahku”
“Kau
cantik sekali. Aku pikir kau tak akan ingat kami lagi”
“Aku
mengundang serta teman-temanku untuk mampir kesini. Para bunga sedang bekerja
keras. Ayo para daun kalian bersemangat! Mari kita bersatu padu. Musim berbuah
sebentar lagi tiba!”
“Terima
kasih sudah hadir kembali. Terima kasih telah membawa harapan kepada kami”,
ujar para daun terharu.
“Waktu
hidupku sebagai kupu-kupu hanya sebentar. Dan di sisa waktuku ini aku ingin
berbuat baik. Satu kebaikan akan berbuah tujuh kebaikan yang lain. Kebaikan dan
cinta itu tak akan gagal. Tak akan...”
Ibu
daun mengangguk mantap. Dia mengenang bayinya yang telah menjadi pahlawan. “Kau
betul sekali anakku. Terima kasih, Nak. Ibu menyayangimu”
“Hei,
jika aku mati. Dongengkan pada langit tentang buah-buah ranum yang menggoda dan
senyum keluarga kecil pemilik kalian ini ya”
Mereka
mengangguk serentak. Sang akar menahan tangisnya yang tersedu. Dia berpura-pura
menghisap air tanah untuk menyembunyikan rambut akarnya yang basah karena haru.
“Jangan khawatir. Karena apa yang jatuh ke bumi, akan abadi!”
“Tapi
tak ada yang lebih abadi daripada kebaikan”
“Dan,
cinta sesama”
Matahari
bersinar lebih hangat. Dia mengusir awan pekat yang tak sabar untuk melepas
serdadu rintiknya, dan memilih mengundang pelangi.
“Hari
ini terlalu indah buat hujan”, batinnya.
***
Comments
makasih yaa mbak udah mampir baca *terharu*