Pinokio


Pinokio berlari ke arah cermin. Dia hampir tidak mengenali dirinya sendiri. Anak laki-laki jangkung berwajah cerah itu menatapnya dengan mata biru yang besar, rambut warna cokelat gelap, dan senyuman lebar di bibir yang menonjolkan rona pipinya. Setelah menatap lama bayangannya di cermin dengan rasa tidak percaya itu, dia berkata pada dirinya sendiri, “Betapa anehnya aku pernah menjadi boneka kayu. Dan saat ini, betapa bahagianya aku telah menjadi anak sungguhan!”
***

Pinokio tumbuh dengan baik bersama ayahnya, Tuan Gepeto dan teman baiknya yang selalu antusias mengamati perubahan Pinokio setiap harinya, yaitu Tuan Jangkrik Jenaka. Tuan Gepeto masih setia dengan pekerjaannya sebagai tukang kayu. Berkat kepopuleran Pinokio, dia mendapat banyak tawaran pekerjaan untuk membuat boneka kayu sejenis dari sirkus dan pertunjukan setempat, bahkan hingga ke negeri seberang. Mereka tidak pernah kekurangan makanan seperti dulu. Selalu berlimpah keju dan susu.

Lima tahun berlalu, Pinokio sudah lulus dari sekolah dasar. Dengan semangat belajarnya yang tinggi, Pinokio menjadi salah satu lulusan gemilang dengan nilai terbaik dari sekolahnya. Banyak pihak yang menawarkannya melanjutkan sekolah menengah di kota dengan cuma-cuma.

“Papa, aku ingin bersekolah di kota” 

“Pinokio, anakku, bukannya aku tak setuju. Namun, di mataku, kau masih terlalu kecil untuk kulepas tinggal seorang diri di luar sana...” 

“Papa, percayalah padaku. Lihat, aku punya beberapa ratus koin emas yang kutabung selama aku bekerja paruh waktu di peternakan. Memerah susu, merakit keranjang, hingga membersihkan kandang. Koin-koin ini mulai kutabung sejak aku menjadi boneka kayu, saat itu kau sedang sakit setelah perjalanan melelahkan kita setelah ditelan ikan paus di samudera sana. Dan tak ada yang lebih baik yang bisa kulakukan untuk membantumu saat itu, Papa”

Tuan Gepeto menatap anaknya dengan terenyuh. Sesekali menyembunyikan air matanya yang tumpah karena mendengar kata-kata Pinokio. Bocah nakal yang dulu membuatnya berkali-kali diterpa masalah, boneka kayu ringan yang beberapa tahun lalu masih dapat dipangku, kini sudah menjadi remaja. Tumbuh. Pinokio telah tumbuh. Dan ini adalah konsekuensi yang memang harus dihadapi.

“Papa kenapa menangis? Tuan Jangkrik, kenapa kau diam saja? Kau akan menjaga Papa, bukan?”

Tuan Jangkrik duduk di bahu Tuan Gepeto, melindungi dirinya dari hujan air mata yang tak henti. “Lihatlah ayahmu, lihatlah aku. Kami sudah sama-sama menua”

Pinokio kecewa. “Ah tidak ada yang mendukungku!” 

Dia mengambil gulungan koran dari tasnya, “Ternyata aku masih menjadi fenomena, Papa. Lihatlah! Seorang pengusaha tanpa anak di Kota Pisa mau membiayai sekolahku asalkan aku mau belajar dengan sungguh dan pindah ke rumahnya! Dia bahkan mengirim surat ke sekolah!”

Tuan Gepeto memperbaiki posisi kacamatanya dan membaca dengan matanya yang basah: PINOKIO! TRANSFORMASI BONEKA KAYU BIASA MENJADI REMAJA BERNILAI ISTIMEWA.

“Perasaanku tidak enak”, kata Tuan Jangkrik.

“Membaca ini membuatku semakin tak enak hati. Aku tak mengenal pengusaha ini, dan kau lebih memilih hidup dengannya dari pada aku, Pinokio”. Dia semakin tersedu-sedu.

“Hanya sebentar saja, Papa. Tak ada yang bisa menggantikanmu. Aku akan bersekolah dengan baik. Ini kesempatanku”, janji Pinokio.

“Berjanjilah kau akan menjaga diri”, kata Tuan Gepeto sambil memeluk Pinokio.

***

Pinokio telah pindah ke Kota Pisa. Butuh sehari semalam dari Desa Tuscan ke Kota Pisa dengan kereta kuda.

“Perkenalkan, nama saya Tuan Angelo. Terima kasih sudah mau menerima tawaran saya. Selama kau bersama saya, anggaplah saya ayahmu sendiri, hai Pinokio” sapanya ramah saat menjemput Pinokio dengan kereta kuda pribadinya. Sepanjang perjalanan dia memperkenalkan Kota Pisa, menunjukkan menara miring Pisa, menunjukkan sekolah Pinokio, pasar, toko buku, peternakan, hingga mereka tiba di rumah Tuan Angelo.

“Ini rumahku. Anggap saja rumah sendiri”

Pinokio menatap langit-langit rumah Tuan Angelo dengan kagum. Rumah itu sangat luas dengan desain interior Eropa yang menonjol, lukisan-lukisan abstrak, dan tangga spiral yang melingkar menghubungkan satu lantai dengan lantai lainnya.

“Aku tinggal seorang diri. Tak punya anak. Hanya aku dan beberapa pengurus rumah ini”

“Sayang sekali, pasti Tuan kesepian. Apa yang Tuan kerjakan sehari-hari?”

“Aku membuka pabrik roti dan beberapa toko roti di kota ini. Silakan masukkan barang-barang ke kamarmu, aku akan menunjukkan pabrik roti itu”

Mereka kembali menaiki kereta kuda menuju pabrik. Pabrik itu sangat kokoh tapi terlihat seperti berada di sebuah kota mati. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari pabrik-pabrik di sebelahnya. Hanya pabrik Tuan Angelo saja yang masih aktif berdiri.

Mereka masuk ke dalam pabrik, para buruh masing-masing sibuk dengan aktivitasnya mulai dari memilah bahan, membuat adonan, mencetak, dan memanggang roti. Pinokio menyapa para buruh tapi tidak ada yang bergeming. Tatapan mereka kosong. Semua diam bisu seperti hantu. Hanya ada satu pria tua yang sangat kurus bersembunyi dari balik tungku perapian bergetar menarik Pinokio.

“Tolonglah kami... Tolong... Kami semua menjadi seperti ini. Tidak berdaya. Setiap hari, kami diberi ramuan yang membuat kami mati rasa agar kami dapat terus bekerja... agar kami tak bisa memberontak... aku selamat karena aku bisa bersembunyi. Tapi tidak dengan mereka. Setiap tahun Tuan membawa satu orang anak istimewa kesini... untuk menjadi seperti dia. Mereka memimpin toko-toko kue baru dengan kejahatan yang sama... Semoga kau tidak, semoga kau TIDAAAK!!!”

Pinokio hampir jatuh pingsan dengan apa yang baru dia dengar. Benarkah ini? Benarkah? Jika ini memang benar, berarti dia sudah memasuki perangkap yang dipersiapkan Tuan Angelo untuknya.

“Hai, kamu kenapa pucat sekali?” tegur Tuan Angelo memperhatikan gerak-gerik Pinokio.

“Tidak... pabriknya bagus. Aku hanya heran ada apa dengan pabrik-pabrik di sebelahnya, Tuan?”

“Uang berbicara segalanya, Pinokio”

“Maksud Tuan?”

“Aku menyuap pemerintah agar menutup pabrik-pabrik itu”

Pinokio menelan ludah. Tak siap dengan mister-misteri yang sedemikian cepat terbuka di hadapannya.

“Kau akan memimpin salah satu toko roti yang kupunya. Dan, aku yang akan mengajarkanmu bagaimana caranya!”

***

Hidup Pinokio berubah drastis. Dia masuk ke sekolah menengah terbaik dan mendapat penghasilan yang tinggi dengan kegesitannya mengelola toko roti. Dia bahkan sudah mahir dalam menyuap. Padahal, itu adalah kebohongan besar! Tapi tak ada lagi penanda dari hidungnya yang memanjang apabila dia berdusta. Pinokio tahu bahwa itu salah, tapi dia tidak mampu berbuat banyak. Suatu hari dia sedang berbaring menikmati sinar matahari pagi di pekarangan rumah Tuan Angelo dan bergumam, “Yang aku rindukan dari menjadi boneka kayu adalah ada yang mengingatkanku bahwa aku harus berkata jujur...”

Seekor kupu-kupu berwarna biru hinggap di hidungnya.

“Hai Pinokio. Kau masih ingat Peri Biru?”

“Peri Biru! Apa kabarnya? Tidakkah dia sudah sangat menua?”

“Ya, Peri Biru mengutus aku kesini. Begitulah jiwa yang baik, jasadnya tua tetapi jiwanya selalu indah dan muda. Dia mengawasimu dari jauh, Pinokio. Dia kecewa padamu karena kau tak berani untuk mengungkapkan kejujuran demi kenikmatan yang kau punya”

“Ya, aku juga kecewa pada diriku sendiri. Bukan ini hidup yang kumau!”

“Dan ayahmu, Pinokio. Tuan Gepeto sakit keras setelah kau tinggalkan. Dia tak mau makan, tak bisa bekerja. Dia sangat sedih dan terus menangis”

“Papa...”

Hati Pinokio mencair. Matanya pun basah mengingat nasib ayahnya yang sangat merindukannya.

“Aku ingin membuat suatu permintaan. Permintaan yang sudah sangat lama ingin aku utarakan. Sampaikanlah pada Peri Biru”

Sang kupu-kupu terperangah mendengar permintaan itu. “Apa kau yakin?”

Pinokio mengangguk mantap.

“Aku akan segera pulang. Terima kasih sudah mengingatkanku. Mungkin ini sudah saatnya...”

“Saatnya apa?”

“Aku ingin mensyukuri hidupku dengan melakukan hal yang bermanfaat. Walau sekali saja. Aku akan melaporkan kejahatan Tuan Angelo!”

Kupu-kupu berseri-seri, “Semoga Tuhan memberkatimu. Kau akan menyelamatkan banyak orang, terlebih menyelamatkan hati nuranimu sendiri”


***


Seminggu kemudian. Koran pagi itu.

“KEJAHATAN BESAR PENGUSAHA ROTI KOTA PISA TERNAMA TERUNGKAP: PERANGKAP, RAMUAN DAN SUAP”

Desa Tuscan, rumah Tuan Gepeto tidak lagi ramai oleh suara gelak tawa anak laki-laki yang biasa. Namun, kehidupan masih tetap berjalan. Tuan Gepeto telah sehat, semangatnya telah pulih, dan dapat kembali bekerja. Tuan Jangkrik menyanyikan lagu sendu mengiringi angin pagi di musim semi. Dua pasang mata mereka tak henti beradu menatap sebuah benda yang teronggok di sudut meja.

Benda itu, boneka kayu yang memilih untuk tak bisa bergerak dan bicara. Dia hanya bisa tersenyum dan berkedip manja. Dia adalah Pinokio.

Di lehernya terikat sebuah surat yang dia buat di sepanjang kepulangannya setelah kabur dari Kota Pisa, “Papa, ini aku Pinokio. Saat Papa mendengar suara ketukan pintu, aku telah berubah kembali menjadi boneka kayu. Jangan sedih Papa, ini pilihanku. Aku ingin terus mengawasimu dengan kedua mataku. Melihatmu bersemangat bekerja dengan senyumku. Aku tidak ingin tumbuh menjadi serakah dengan nasib yang merepotkanmu. Aku ingin terus menjadi anak yang kau rindukan itu. Jangan sedih Papa. Jangan sakit, makanlah yang banyak Papa. Ini pilihanku, ini yang terbaik untukku. Aku akan terus menjadi anakmu. Dengan begini aku akan terus dapat bersamamu. Selalu dan selamanya. Pinokio”

“Kau adalah pahlawan, Pinokio. Kau menyelamatkan dan membebaskan para buruh di pabrik itu, menyelamatkan Tuan Gepeto dari kesedihannya yang panjang, dan yang terpenting kau berani menyelamatkan dirimu sendiri”, ujar Tuan Jangkrik bangga.

Sebuah senyum muncul di wajah Pinokio.

***

P.S.: Cerita ini dibuat pada tantangan di eliminasi kedua untuk menggubah akhir dari kisah dongeng Pinokio.

Comments

Popular Posts