Raungan Sebuah Deru
Aku meringkuk beku di bawah dedaunan
mawar yang berembun karena diserang hujan yang tidak kelelahan berpesta
sepanjang fajar. Petir bersahut-sahutan tak mau kalah memaksa langit untuk
terlihat megah. Hai langit, apakah engkau tak lelah menangisi bumi sepanjang
waktu? Jangan kau ikut tangisi aku wahai langit, karena kepergian Ibuku
beberapa jam yang lalu diterkam oleh sebuah deru dan bercahaya seperti petir yang
kilaunya baru saja menjentik mataku. Beberapa jam yang lalu, Ibu tak pernah membiarkanku
merasa dingin sedikitpun, tubuhnya yang hangat membuatku merasa menjadi makhluk
paling bahagia yang pernah ada. Beberapa jam yang lalu, Ibu tak pernah
meninggalkanku atau membiarkan aku kekurangan susu yang tak pernah habis dari
empat pasang putingnya yang hanya untukku. Aku bahkan tak pernah ingat dimana
saudara-saudaraku yang pernah berada di pelukan ini bersamaku.
***
Beberapa
jam yang lalu, Ibu terkujur kaku tanpa air mata dan ronta. Hanya ada darah dan
bau Ibu. Aku menjilati tubuh itu sambil meminta janji Tuhan atas sekian nyawa
yang masih Dia sisakan buat Ibu. Tapi tak ada, aku tak lagi punya Ibu. Pada titik ini, aku seperti gila. Pada titik
ini, aku tidak mengerti antara aku dan Ibu, siapa yang meninggalkan dan
ditinggalkan. Dalam raunganku yang tak henti, aku melihat senyum Ibu yang
memintaku pergi. Dan dalam hitungan detik, tubuh Ibu tercabik terlindas sebuah
deru lagi. Hingga wajahnya tak lagi kukenali.
Rasa
sakit seperti mengoyak perutku. Aku menderita lapar yang hebat. Aku
bersenandung untuk menyembunyikan rasa sakit dan luka. Mungkin seperti ini
rasanya akan mati, batinku. Dalam senandungku, sehelai daun mawar menyapa ujung
hidungku.
“Bersenandunglah
lebih keras!”, katanya.
“Tuan
Daun, apa kau juga kedinginan? Aku tak mengerti maksudmu. Aku ingin mati saja”
“Tidak, karena hujan adalah cara alam
membelaiku. Dan rasa dingin ini adalah wujud Tuhan memelukku. Bersenandunglah!
Lebih keras! Percayalah padaku, kau akan menemukan keajaiban”
Aku melakukan apa yang Tuan Daun
minta, tak lebih untuk menyenangkan dia yang sepertinya terhibur dengan suaraku
yang penuh duka. Keras sekali, sangat keras. Aku terus bersenandung, menantang
petir, mengenang Ibu hingga aku parau dan tergeletak lemah.
Sepasang tangan mengangkatku. Tangan
itu sangat hangat. Dan baunya seperti bau kami, seperti bau Ibu. Siapa itu?
Apakah itu malaikat yang akan menjemput nyawaku?
Aku terbangun dengan selimut
membungkus, tubuhku yang hitam sudah bersih dari lumpur, dan dua pasang mata
menatapku bahagia.
Sudah 7 tahun aku tinggal di rumah
ini. Wanita penyelamatku itu tak terlihat menua, dan bocah laki-laki yang dulu selalu
berada di sampingnya sudah beranjak remaja. Kata wanita itu, dia mulai
kesepian. Sang anak sudah punya banyak teman dan kehidupan. Ini berita bagus.
Aku punya lebih banyak waktu untuk dimanja dan dipangku. Baunya masih sama, bau
kami. Bau Ibu. Tak banyak orang yang punya bau khas seperti ini. Bau yang
ramah, yang membuat kami tak keberatan untuk menjilat dan mendekat.
“Mama...” aku meraung.
“Apa sayang?”
Aku suka sekali saat dia bilang
begitu. Lalu dia menggelitik kepalaku hingga aku mendengkur. Tak beberapa lama
mangkuk makananku sudah terisi baru. Ah, aku sangat menyayangi wanita itu. Setelah
makan, aku boleh bermain dan tidur semauku tak ingat waktu.
“Boleh aku bercerita sedikit?”,
tanyaku pada beberapa helai daun mawar yang mengangguk menahan kantuk.
Rerumputan empuk yang berlindung di bawah ranting-ranting mawar ini adalah
tempat favoritku untuk berjemur.
“Aku menyesal karena pernah tidak
mematuhinya. Saat aku beranjak dewasa, aku mulai suka berkeliaran untuk
memenuhi naluriku. Saat itu hujan, dan sebuah deru melaju kencang ke arahku. Deru
yang sama yang membekas sangat tajam di ingatanku. Deru itu pernah merenggut
Ibuku. Sampai saat ini aku tak pernah tahu kenapa benda kejam dan berderu itu
diciptakan. Sepertinya memang hanya untuk menabrak kami”
Raunganku semakin parau. Para daun
mendengar dengan seksama.
“Tubuhku yang didominasi corak hitam
membuatku tak terlihat dalam gelap. Terlebih saat itu listrik sedang padam. Aku
terpelanting jauh hingga ke seberang jalan. Sakit sekali. Punya tujuh nyawa pun
tak ada gunanya jika sesakit ini. Leherku tak bisa digerakkan, sebagian wajahku
rusak, mata kananku tak bisa berfungsi, dan kakiku terluka hebat. Tapi saat itu
aku teringat wanita itu. Mama pasti mencari-cari aku. Mama akan menolongku. Aku
harus pulang”
Sehelai daun muda berayun bersama
angin menyentuh hidungnya. Para mawar menundukkan mahkotanya ke arahku.
“Instingku yang kuat membawaku
kembali menemukan jalan pulang. Aku berteduh di bawah pohon mangga yang sangat
rimbun tertanam di halaman belakang sambil menjilati kakiku. Ah, sakit sekali. Aku
meringis, meraung-raung. Mama, tolong aku. Mama”
“Mama mendengarmu? Dia pasti
mendengarmu. Sama seperti mendengar kami yang butuh air saat kehausan. Dia
selalu datang dengan selang di tangannya lalu menyirami kami dengan
kebahagiaan”, sahut sehelai daun yang kegelian digerogoti ulat hingga berlubang.
“Ya, Mama mendengarku. Dia
tergopoh-gopoh membawa senter lalu mengangkatku dengan hati-hati ke dalam
rumah. Aku menangis terus, sakit sekali, Mama. Mama kebingungan, dia mengambil
kain lalu mengelap tubuhku yang basah kuyup. Dia menyeka lukaku dan memaksaku
menelan cairan yang luar biasa pahitnya. Sepertinya dia menangis. Aku
meraung-raung lagi. Mama, jangan menangis. Aku takut, Mama. Ini sakit sekali”
Aku melanjutkan ceritaku dengan
suaraku yang semakin tak terdengar. Memori itu terpahat sangat erat. Aku ingat berdiam
diri di dapur selama tiga hari berturut-turut. Aku tidak enak makan. Kata Mama,
aku sudah bau bangkai. Dia menangis terus seperti berusaha merelakan aku. Dia
terus menyeka lukaku dan menyuapi susu. Aku pun tetap terus berusaha hidup dan
mengobati diriku sendiri dengan air liurku yang dianugerahi Tuhan ini.
Berangsur-angsur aku sembuh. Aku
ingin bilang pada Mama bahwa aku sudah sembuh. Aku meraung-raung
memanggil-manggil dia, Mama mana Mama? Saat itu aku tak sadar bahwa bola mataku
telah menggelinding jatuh ke luar. Mama hampir terpeleset menginjak organ yang
tidak menjadi milikku lagi itu. Dia terkejut lalu memelukku, menggendongku. Dia
merayakan kesembuhanku. Aku sembuh walau dengan leher yang masih miring dan
mata yang tak berfungsi sempurna. Mama tetap menyayangiku walau kini aku
menjadi buta.
“Aku kian menjadi tua, kadang aku
suka berbuat semaunya, tapi dia tetap bersabar dengan keberadaanku”, lanjutku
penuh syukur. “Mama adalah penyelamatku. Melalui tangannya, Tuhan telah menyelamatkan
beberapa nyawaku. Dan kasih sayangnya cukuplah menjadi pengganti Ibu dan
pengganti mata kananku yang kini telah tiada dan buta”
Para daun ikut
hening bersama mendung.
***
Sore
itu, aku duduk di depan rumah menanti kepulangan Mama bersama mentari yang matang
bersama petang. Dia berjanji akan membawakanku ikan segar dari pedagang
langganan. Aku melihat bayangannya yang khas membawa keranjang berisi sayur dan
beras. Punggungnya sudah mulai membungkuk dan rambutnya sudah beruban, tapi kasih
sayangnya tak pernah berubah. Tak pernah.
Aku
meraung menyambut Mama dengan bangga. Dia berlari menuju ke arahku, tampak
penuh rindu walau hanya beberapa jam tak bertemu. Namun, langkah Mama tertelan
oleh sebuah deru. Deru yang sama yang membekas sangat tajam di ingatanku. Deru
itu pernah merenggut Ibuku. Sampai saat ini aku tak pernah tahu kenapa benda
kejam dan berderu itu diciptakan. Sepertinya memang hanya untuk menabrak kami.
Deru
itu berhenti. Sejenak. Lalu kabur secara tak tahu diri.
Setelah
Ibu, kini Mama... tubuh kedua yang kulihat tergeletak penuh darah tepat di
depan hidungku. Dalam raunganku yang tak henti aku melihat senyum Ibu yang
memintaku pergi. Kali ini aku tak mau pergi. Tak mau pergi seperti dulu.
Aku
menjilatinya hingga orang-orang ramai berdatangan mengangkat jasadnya.
***
P.S.: Eliminasi ketiga dengan tema kesedihan. Terinspirasi dari kucing kesayangan yang tewas setahun yang lalu.
Comments