Restu Langit
Lima jam yang lalu kami
bertengkar hebat.
Ibu bersepakat tidak akan
mengantarkan kepulanganku. Ayah pun demikian, beliau hanya mencarikan aku taksi
lalu kembali masuk ke ruang tamu. Bagiku, ini perjalanan yang terlalu menyedihkan.
Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada berada di kampung halaman namun
jiwamu tetap merasa sendirian. Tak ada pelukan, tak ada lambaian tangan, dan
tak ada kata-kata perpisahan yang memancing tangis kami bersahut-sahutan. Yang
tersisa adalah wajah yang basah dijejaki hujan dan adik kecilku yang bisu
meringis dari kejauhan. Dia terus memberi isyarat dengan jari-jari mungilnya, “I love you. I love you, kakak” hingga
taksi berangkat, menerobos banjir yang tak surut sejak langit pekat, dan
mencipta jarak yang membuat kerongkongan tercekat.
Aku tiba di bandara sembilan
puluh tiga menit menjelang penerbangan, bergegas melakukan prosedur check-in, menyerahkan bagasi, dan
melangkah ke ruang tunggu dengan emosi yang tak terdefinisi. Pintu masuk yang
memisahkan para perantau dengan pengantarnya, ayah dengan anak perempuannya,
istri dengan suaminya – telah menjadikan setiap kata yang terdengar menjadi
sangat berharga seakan kau ingin menghentikan waktu agar tak berkerja
tergesa-gesa dan menghamba dalam dada agar lebih lama dapat melihat wajah orang
yang kau cinta. Menurutku, pintu masuk menuju ruang tunggu ini adalah tempat
yang suci, dimana gravitasi menjadikan air mata setiap orang jatuh di titik
yang sama, dimana doa dan kecup bersenyawa, dan... harusnya ayah dan ibu ada
disana. Selama empat tahun berturut-turut dan pulang dua kali dalam setahun,
mereka selalu di sana.
Kali ini aku hanya menjadi
penonton, bukan pelaku sebagaimana biasanya. Entah sudah berapa kali aku
menyesali kejadian lima jam yang lalu yang membuatku tak mampu menahan diri. Tak
ada tangan Ibu yang permukaannya kasar tergerus air cucian baju dan pembersih
lantai, tak ada tangan ayah yang ruas jarinya terpahat kuat seperti kulit kayu yang
termakan usia, dan tak ada senyum adik di wajah polosnya yang menyimbolkan
surga.
Kali ini aku
hanya menjadi penonton, bukan pelaku sebagaimana biasanya. Kecuali untuk satu
hal yang ini, yang selalu sama. Ruang tunggu bandara dan dada yang sesak seakan
jantung bergantian memproduksi air mata lalu tumpah sejadi-jadinya.
“Perhatian-perhatian. Pesawat dengan nomor
penerbangan JT 208 tujuan Jakarta ditunda keberangkatannya sampai ada
pemberitahuan lebih lanjut”
Apakah ini
karena banjir yang semena-mena? Atau kemarahan ayah dan ibu yang dijawab Tuhan
melalui langit perkasa?
Aku
tidak pernah suka berkemas. Hari terakhir sebelum keberangkatan bagaikan mimpi
buruk. Berat bagasi yang akan kubawa bertambah dua kali lipat. Ibu terlihat
sangat kerepotan membeli berbagai kebutuhan dan amunisi untuk anak kos-kosan. Beliau
mengemas rendang, abon, kerupuk, dan oleh-oleh untuk para kerabat. Kemuliaan
hati ibu sudah terdistraksi oleh pikiranku yang sudah kewalahan memikirkan
bagaimana aku membawa semua ini sendirian.
“Ibu,
cemilan-cemilan itu tidak usah aku bawa. Di Jakarta juga banyak”
“Ibu
hanya bisa membawakanmu ini. Tak maukah kau menerima pemberian Ibu, Nak?”
Lalu
aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
“Ini
beberapa kebaya saat Ibu muda, kau bawa saja ya Nak. Bisa kau gunakan untuk
menghadiri pernikahan teman”
Aku
menerima tumpukan kebaya itu dari lemarinya dan membentangkannya satu persatu.
Masih berbau kamper. Tua sekali modelnya, batinku. Otak dan hati sibuk
menggerutu hingga tak mampu melihat keindahan dan pengorbanan Ibu di setiap
helai kebaya itu.
“Ini
kebaya Ibu waktu lamaran. Baru Ibu pakai sekali dan Ibu sayang-sayang begini.
Ini hadiah dari eyangmu. Beliau menghabiskan satu-satunya tabungan yang beliau
punya hanya untuk menghadiahkan ibu ini, untuk memeriahkan pernikahan kami yang
sangat sederhana”
Ibu
memang suka menyimpan kenangan. Tapi sayangnya ini bukan waktu yang tepat untuk
bernostalgia. Dahiku berkerut melihat nasib koper yang sepertinya tak mampu
menampung titipan Ibu dan kebaya-kebaya masa lalu yang sebenarnya enggan
kukenakan atau tepatnya membuatku seperti gadis lampau yang datang dengan mesin
waktu.
“Semoga
pernikahanmu nanti tidak begitu ya. Cukup Ibu saja”
Seharusnya
aku mengaminkan doa ini. Bukankah doa Ibu adalah doa yang diantarkan oleh
malaikat langsung ke cakrawala? Tapi seharian ini aku hanya merespon Ibu dengan
satu topik yang menghabiskan energi berpikirku. Koper! Dan bagaimana aku
membawa ini sendirian!
“Ibu,
lihat koperku tidak cukup! Bagaimana sih, Ibu mengharapkan aku membawa semua
ini! Titipan oleh-oleh, kebaya, bahkan wajan mini... Astagaaa, seperti disana
tidak ada saja! Ibu tidak kasihan denganku? Membawa ini semua seorang diri?
Bagaimana jika terjadi kelebihan bagasi? Bagaimana?”
Emosi
yang tertahan sejak pagi meledak-ledak. Ibu kaget mendengar nada suaraku yang
tinggi hingga kebaya biru yang baru saja dikenangnya itu terjatuh dari
tangannya.
“Kau
tidak berubah, Nak. Mudah sekali bingung. Tidak ada niat Ibu membuatmu
menderita, Nak. Jangan kau marah begitu pada Ibu. Ibu hanya dapat bertemu
dengan anak gadisnya sekali-sekali, tak bolehkah membahagiakanmu dalam waktu
yang terbatas itu? Sini, Ibu bantu berkemas. Pasti cukup”, jawab Ibu sabar
sambil menyusun ulang barang-barangku di koper.
“Nah,
cukup bukan?”
Ya,
cukup. Tapi koper itu menggelembung di permukaan karena menahan muatan yang
berlebihan. Dan, bagian sampingnya yang robek memperburuk keadaan. Aku tahu
bahwa sayatan di koper itu sudah ada sebelum aku pulang. Tapi kemarahan ini
seakan membutakan mata.
“Lihat
Ibu, jadi robek!”
“Ya
sudah, kalau kau tidak mau membawa kebaya Ibu. Ya sudah, tak usah. Biar ayahmu
yang menjahitnya”, sahut Ibu dengan sendu lalu memanggil ayah.
Ayah
punya tangan emas yang membuat beliau mampu merakit banyak hal dengan baik,
bahkan menjahit. Kami langsung diam dan tidak memperpanjang masalah ketika ayah
masuk ke kamar. Beliau menjahit koper itu dengan teliti dan aku hanya terpaku memperhatikan
beliau dari sudut kamar.
“Ayo makan dulu. Makan yang banyak yaa, nanti
lapar lho di pesawat”, panggil Ibu dari ruang makan sambil tergopoh-gopoh
menyiapkan hidangan.
“Ibu...
sejak pulang aku sudah naik beberapa kilo. Ibu selalu menyuruhku makan yang
banyak!”
Ada
sayur asem, ikan asin, tempe goreng, dan sambal terasi. Ini makanan favoritku,
seharusnya. Tapi kemarahan benar-benar mengusikku. Aku mengusap-usap perut yang
sebenarnya tidak membuncit. Ini gara-gara Ibu, batinku.
“Kalau
sudah kembali kesana, jangan malas makan ya. Jika sakit siapa yang mengurusmu?
Ayo makan yang banyak, kapan lagi bisa makan masakan Ibu. Nanti kau rindu”
Aku
bersungut-sungut melihat Ibu menambahkan sesendok sayur asem lagi ke piringku.
“Lihat
wajahnya. Sepertinya dia tidak senang bersama kita”, sindir ayah yang baru
selesai menjahit sambil mengangkat piringnya dan memilih makan di ruang tamu.
“Kau
itu... apa yang mengganggu pikiranmu? Bukankah ini jam-jam terakhir kita
bersama? Tidak ada maksud Ibu untuk membuatmu gemuk atau tersiksa. Ibu hanya
menyayangimu. Ibu terlalu menyayangimu”
Aku
diam saja, sibuk mengunyah nasi di mulutku pelan-pelan. Adik duduk di
sebelahku. Dia terlihat sangat bahagia bisa makan bersama seperti ini.
“Maa...
am. Maa... am”, gumamnya sambil menyerahkan potongan tempe goreng miliknya ke
bibirku.
“Kau
bisa diam tidak?!”, jawabku geram.
Adik
mematung dan menarik kembali tempenya. Dia menatap Ibu lalu aku. Ayah datang
dan memecahkan piring yang ada di tangannya seakan serpihan-serpihan kaca itu
adalah remah-remah hati mereka yang kucabik-cabik sendiri.
“Nak,
bukankah dia sudah diam seumur hidupnya?”
***
Sudah
satu jam dari jadwal keberangkatan yang seharusnya, namun belum ada tanda-tanda
pesawat tiba. Para penumpang meneriakkan protes pada penjaga gerbang yang
sepertinya sudah kehilangan muka dan telinga agar dapat tetap tahan bekerja. Beberapa
mulai tertidur dengan buku dan gadget di
tangannya. Sementara itu, hujan masih saja betah bersenang-senang dengan senja.
Aku
merogoh tas ransel dan membuka bekal yang dibuatkan Ibu. Dalam kesedihannya,
beliau masih sempat membuatkan bekal nasi putih hangat dengan daging goreng. Aku
makan dengan lahap tanpa dikunyah hingga lumat. Aku makan seperti orang
kelaparan dan menyesali kalimat-kalimat yang tadi pernah aku lontarkan. Aku
menyesali diri sendiri yang mengizinkan setan menggesekkan medan magnet
kemarahan. Kemarahan yang tidak pantas. Kemarahan yang berbau bangkai. Bau
sekali. Aku merasakan tangan Ibu di setiap butiran nasi yang kutelan. Aku
merasakan keringat ayah di setiap serat daging yang kucerna. Aku merasakan
jemari adik yang menempelkan makanannya di bibirku. Aku menghabiskan bekal
dengan air mata yang berceceran di setiap suapan.
“Ibu...”
“Sudah
dimana, Nak?”
Aku
menelpon Ibu. Bahkan setelah kejadian tadi, Ibu masih mengkhawatirkan aku.
Sombong sekali aku, Ibu. Aku berutang banyak sekali padamu, Ibu. Ampuni aku,
Ibu.
“Ibu,
maaf...”
“Tidak
apa-apa sayang. Maafkan Ibu juga”
“Ibu,
aku rindu”
“Ibu
juga. Rindu sekali”
“Pesawatnya
ditunda, Bu”
“Seharusnya
Ibu mengantar jadi kita bisa bercengkerama sambil menunggu”
Aku
sesenggukan hingga menelan air mataku sendiri.
“Ibu,
aku rindu”
“Iya,
sayang. Nanti kita bertemu lagi. Jaga dirimu ya”
“Tidak
Ibu, aku ingin bertemu sekarang. Aku akan memperpanjang cutiku Ibu”
“Nak...
kamu kenapa? Bagaimana dengan tiket pesawatnya. Mahal, Nak...”
“Tidak
semahal waktu yang aku sia-siakan saat bersama kalian, Bu”
“Nak...”
“Ibu,
nanti peluk aku ya”
Dari
jauh, hanya terdengar suara yang terisak.
Aku keluar dari ruang tunggu, memproses pembatalan keberangkatan dan bagasi, memanggil taksi dan kembali pulang. Hujan sepertinya cemburu, air mataku lebih deras dari tetesnya yang melaju.
***
BREAKING NEWS: Telah terjadi kecelakaan pesawat dengan nomor penerbangan
JT 208 tujuan Medan-Jakarta. Kecelakaan diduga karena kondisi cuaca. Para
penumpang saat ini sedang dalam proses evakuasi dan jumlah korban yang tewas
masih dalam tahap identifikasi.
Deg. Restu Ibu menyelamatkan aku.
***
P.S: Eliminasi terakhir dengan tema ruang tunggu dan alur maju mundur.
Comments
Subhanalloh... keren cerpennya icha :)
Ibu, aku rindu.